UNCONDENTIONAL TRUST



UNCONDENTIONAL TRUST;  PERUPA MUDA, PILIHAN, DAN KEYAKINAN
#1
Sebelum tulisan ini berlanjut, saya terlebih dahulu ingin memberi batasan pada istilah perupa muda yang saya magsud dalam tulisan ini, yakni perupa yang baru memulai langkah untuk berjuang melakukan aktualisasi diri demi sebuah eksistensi di dunia seni rupa terkhusus lagi istilah perupa muda yang saya ajukan tentu saja mengacu  pada lima orang perupa muda peserta pameran ini yang sekiranya bisa menjadi sampel bagi kecenderungan teman-teman seusia kami di luar sana yang mengalami kegelisahan dan problematika yang sama  . Batasan tersebut sengaja saya berikan agar para pembaca tidak mengalami bias pemaknaan atas istilah perupa muda yang saya ajukan, ataupun agar tidak menimbulkan prasangka bahwa saya melakukan peng-generalisasi-an pada semua perupa muda sabab saya menyadari pula istilah perupa muda adalah istilah yang luas serta tidak mungkin terwakili oleh sebuah sudut pandang pembacaan semata .
 “Uncondentional Trust” adalah dua kata dalam  bahasa ingris yang berarti kepercayaan yang tak bersyarat. Sebuah judul yang dirasa tepat untuk merepresentasikan semangat atau bahkan suara hati lima orang perupa muda yang akan tampil dalam pameran ini. Semangat yang merupakan buah kesadaran atas pilihan “berani” untuk menekuni dunia keperupaan yang  bergelut dengan dunia seni rupa. Mengapa dikatakan berani? Sebab memilih jalan sebagai perupa tentu akan berhadapan dengan problematikanya sendiri. Ada banyak simpul-simpul “ketegangan” yang harus dihadapi untuk merintis atau memulai jalan  atas “kenekatan” pilihan sebagai perupa. Menjadi perupa tentu tidak sama dengan profesi yang lain, menjadi pegawai kantoran misalnya, dengan pakaian dan tampilan klimis dan necis berikut segala “kepastian” mulai dari  jam kerja, gaji dan “penjara” kepastian-kepastian lainnya yang dilembagakan oleh otoritas perusahaan.
 Menjadi perupa tentu berbeda, seorang perupa tidak “bekerja” dalam mekanisme kerja yang terlembagakan oleh sesuatu lembaga di luar otoritas diri sang perupa sebab otoritas diri perupalah yang menjadi lembaga otonom dalam mekanisme kerja kreatif untuk menghasilkan sebuah karya, sebuah mekanisme yang menuntut perupa bekerja dalam mekanisme disiplin kerjanya sendiri. Perupa dituntut berdisplin dengan dirinya sendiri, oleh dirinya sendiri. Kerja bagi perupa tidak hanya dimulai pada saat mengeksekusi karya pada media dua atau tiga dimensi saja. Proses kerja bagi perupa dimulai sejak menemukan gagasan yang akan diangkat dalam sebuah karya, proses ini dilakukan dengan cara yang berbeda-beda oleh masing-masing perupa, yang agak berjiwa  rumahan biasanya bengong sambil tidur tiduran dikamar,  yang agak berjiwa pertapa biasanya menyepi sambil membawa pancing, yang agak kutu buku dengan membaca buku buku atau majalah, yang agak tekno suka mengubek-ubek internet sambil sesekali ngeksis di social media, yang suka kongkow-kongkow pergi ke pameran atau pergi ke studio teman sambil berdiskusi mulai dari urusan yang ringan sampai yang ruwet. Kesemuanya adalah cara perupa dalam mempertajam ide dan gagasannya.
Sistem kerja yang “tak biasa” dalam pandangan awam ini, yang membuat perupa terkadang terstigmakan menjadi pribadi yang unik dan berbeda dari orang kebanyakan, sebuah pandangan purba yang juga kerap dipelihara oleh perupa sejak masa romantik eropa, bahwa perupa adalah orang yang eksklusif yang berada di luar lingkaran orang kebanyakan, perupa kemudian dikonstruksi menghuni kutub-kutub sosial terekstrim. Perupa berada diantara paria dan dewa, berada diantara gembel dan nabi, berada diantara para pemalas dan pemikir, pandangan romantik tersebut tampaknya tetap diwarisi oleh sebagian besar masyarakat dalam memandang profesi perupa. Pandangan tersebut berbuah pada persepsi dan prasangka, persepsi dan prasangka tersebutlah yang harus ditanggung para anak muda yang sedang jatuh bangun merintis jalan di dunia seni rupa. Pilihan yang terkadang berhadapan dengan simpul-simpul ketegangan, mulai dari wilayah paling domestik semisal keluarga, simpul-simpul ketegangan dalam wilayah keluarga ini biasanya berbentuk kebimbangan diri perupa muda yang terkadang merasa “gagal” atau belum mampu memenuhi ekspektasi dari para orang tua yang menganggap bahwa predikat “sarjana” yang dipikul anaknya akan selalu berkolerasi perbaikan taraf hidup yang dapat dilakukan semudah membalikkan telapak tangan. Simpul-simpul ketegangan juga terjadi dalam sebagian masyarakat yang menganggap menjadi perupa adalah pilihan yang aneh, antikemapanan dan sebagainya. Belum lagi simpul-simpul ketegangan yang harus dihadapi dalam medan sosial seni rupa itu sendiri, dimana untuk meraih eksistensi diri sebagai perupa tidaklah instan, perlu kerja keras, atau dalam gaya bahasa yang lebih dramatik dan bombastis diistilahkan sebagai; “perlu perjuangan yang berdarah darah”. Realitas ini juga membuat nyanyian sumbang terhadap tanggung jawab moral akademi seni rupa kembali berhembus, bahwa untuk bisa survive sebagai perupa setidaknya harus ada pembekalan seputar ilmu manajemen seni, sebuah mata ajar yang tampaknya terlupakan untuk diajarkan khususnya di beberapa akademi seni rupa yang ada di Bali.
Simpul-simpul ketegangan yang dihadapi oleh sebagian perupa muuliahaaa yang sedang dalam prosesda, melahirkan seleksi alam, antara yang frustasi kemudian memilih meninggalkan dunia seni rupa atupun yang memilih tetap berjuang di seni rupa dalam rangka aktualisasi diri walau dengan kesadaran bahwa eksistensi diri  tidaklah didapat semudah membalikkan telapak tangan. Perlu tidak hanya kesadaran tapi yang lebih dalam adalah kepercayaan pada jalan seni rupa. Sebuah kepercayaan yang tak pernah surut sebuah, kepercayaan yang tulus, yang tanpa syarat apapun selain rasa cinta. Maka “uncondentional trust” dirasa tidak terlalu berlebihan dalam merepresentasikan semangat orang-orang muda ini untuk mengaktulalisasikan diri sebagai perupa dalam medan sosial seni rupa. “Uncondentional Trust”  pada akhirnya adalah sebuah bingkai yang akan merepresentasikan keanekaragaman gagasan dari para perupa muda yang akan tampil dalam pameran ini. Sebuah tawaran tentang keanekaragaman karya yang hadir dalam spirit yang sama yakni kepercayaan yang tak bersyarat. “uncondentional trust”.

#2
Lihatlah karya Kadek Darmanegara yang masih suntuk dalam permaian dan pencariannya pada sebuah bahasa yakni ekletisme dalam  karya-karyanya. Sebuah kecenderungan yang ia gali secara terus menerus ia gali setidaknya sejak dua tahun terakhir ini. Ke-ekletis-an karya Darma, terlihat pada penghadiran bahasa rupa modernis semisal lelehan, cipratan, torehan dan lain sebagainya berpadu dengan basa dekoratif yang bernafaskan bahasa rupa tradisoanal bali seperti teknik sigar mangsi. Dari sekian tahun berproses bersama penulis, secara tersirat darma sering memaparkan konsep umum karyanya bahwa dia terobsesi untuk menghadirkan konten lokalitas semisal kosa rupa tradisional bali kedalam karya-karyanya, sebuah obsesi yang mungkin tergerak atas pemahaman dan keyakinannya bahwa salah satu pilihan jalan untuk merayakan ke-kontemporer-an dalam ranah seni rupa dapat dilakukan dengan penghadiran konten lokalitas dalam karya-karya seni rupa, sejalan dengan gagasan tentang matinya narasi besar (universalitas) yang digantikan oleh kebangkitan narasi kecil (lokalitas) dalam pandangan postmodernisme.
Made Jendra terus berupaya dalam penggalian bahasa rupa di wilayah realis, ketekunan dan kesuntukannya berproses dalam bahasa realisme adalah  “bekal potensi” yang menjadi obsesi artistiknya sejak masa kuliah hingga kini. Sebuah upaya yang menuntut adanya kontiniuitas dalam berproses tak hanya dalam wilayah tekstual (teknis, estetis) tapi juga dalam wilayah kontekstual ( gagasan, ungkapan, narasi). Tampaknya aspek kontiniuitas tersebut mulai terliahat dalam pergeseran atau perkembangan? Gagasan karyanya kini. Jika pada masa studi ia menjadikan potret diri sebagai gagasan utama dalam karya-karyanya maka kini gagasan tersebut mulai bergeser, yakni tak lagi potret diri tapi potret tokoh-tokoh dunia seperti, Gandhi, hitler, marylin Monroe dan lain sebagainya. Yang menarik dibaca dalam karya-karya jendra adalah potret tokoh-tokoh tersebut dihadirkan sedang memakai busana penari Bali. Tampilan tersebut merangsang berbagai pemaknaan, salah satunya adalah isu-isu seputar globalitas, yang didalamnya juga berhadapan dengan lokalitas, lihatlah  potret-potret tokoh yang telah “milik” budaya global sedang memakai busana penari bali yang menjadi “milik” budaya lokal dalam hal ini budaya bali itu sendiri. Hal ini juga menyiratkan isu komodifikasi budaya bali dalam laju lokomotif pariwisata Bali.
Wayan Juni Antara masih asik dalam pencariannya mengangkat bahasa rupa wayang kamasan yang ia padukan dengan figure-figur manusia yang berusaha digarap dengan pendekatan yang realistik. Tak seperti karya-karya Juni yang terdahulu yakni menggabungkan ikon wayang kamasan dengan ikon naruto sebagai penanda atas keterpangruhan budaya asing tewrhadap budaya bali, sehingga karya Juni pada fase tersebut menghadirkan oposisi biner antara budaya luar dan budala sendiri, antara yang global dan yang lokal dan lain sebagainya. Tapi pada karya-karyanya yang terbaru Juni tampaknya meredam opsisi biner tersebut, Juni kini lebih mengaralihkan pandangannya pada tema-tema yang bersahaja, sarat harmoni, sebuah tema yang telah lama hilang tergerus arus budaya protes yang bising. Secara berterus terang dan jujur Juni bertutur pada penulis bahwa dirinya ingin menhadirkan sesuatu yang lebih bersahaja dan wajar tapi bukan berarti karya-karyanya akan berhenti pada aspek kebentukan semata, Juni dalam alam bawah sadarnya mungkin sedang rindu pada kesahajaan dan harmoni yang telah lama tercerabut dalam keseharian kita yang tengah dibisingkan oleh riuhnya gelombang kegaduhan peradaban.
Lain lagi dengan Wayan Aries Adipramana “eben” yang terkesan sedang melakukan “curhat” visual dalam karya-karyanya. Dalam setiap karya-karyanya Eben tampaknya sedang menyampaikan gasasan, kegelisahannya atau mungkin kegalauannya terhadap dunia seni rupa itu sendiri. Teks-teks yang hadir dalam salah satu karya object art-nya yang menhadirkan bantal tersurat dalam bahasa yang terkesan sangat personal, karena secara implisit kata-kata yang terbaca dalam karya tersebut tampak absurd tetapi secara eksplisit tersirat adanya pertanyaan kritis Eben terhadap makna dari “rasa nyaman” seorang perupa dalam berkarya. Rasa nyaman yang berasosiasi dengan bantal segera terbaca sebagai sebuah ke-stagnasi-an karena bantal adalah alas kepala saat tidur atau bersantai. Dari sana Eben hendak berbicara bahwa rasa nyaman pada posisi dan pencapaian tertentu akan berujung pada terjerumusnya seorang perupa dalam suatu kontdisi stagnasi yang berujung pada suatu proses  yang melahirkan  karya yang  itu-itu saja, seperti yang sedang ia kritisi dalam karyanya yang berjudul “beri aku keesegaran” yang menampilkan dua panel lukisan repetisi ornamen api-apian, yang dibuat berjajar dan berbaris rapi membentuk konfigurasi yang terkesan tertib dan statis.
Wayan Suarjaya menghadirkan narasi tentang kehidupan  masyarakat kelas bawah . Melalui pelukisan  serangkaian benda-benda berkarat nan kusam suarjaya mencoba menghadirkan potret muram kemiskinan yang melanda sebagian saudara-saudara kita. kemiskinan memang kerap menjadi nyanyian pilu di media-media masa, walaupun demikian telinga kemanusiaan kita mungkin terlampau tuli tuk mendengarkan. Kemiskinan tetaplah kemiskinan, terkadang ia hadir dalam spanduk-spanduk partai politik menjelang pilkada atau pemilu  yang seolah hadir bak juru selamat dengan sejuta kotbah dan janji-janji yang nihil raelisasi. Pada tataran ini kemiskinan menjadi komoditas bagi selebritas politik. \Narasi tentang kemiskinan pada akhirnya hanya menjadi benda pajangan dan simbol-simbol yang beku tanpa pernah tersentuh dan teratasi dengan niatan yang tulus dan serius
Demikianlah sekelumit pembacaan saya terhadap karya kelima orang perupa muda  yang tampil dalam pameran ini. Sebagaimana layaknya sebuah bingkai kuratorial semoga tulisan ini mampu menjadi sebuah jalan untuk melakukan pembacaan terhadap apa yang ditampilkan oleh teman-teman perupa muda dalam pameran ini,dan  pembacaan saya ini tentu saja bukanlah satu-satunya jalan untuk memahami karya-karya mereka, karna setiap pemirsa tentu akan melakukan pembacaanya masing-masing terhadap karya-karya kelima orang perupa muda ini. Selamat membaca.
Tulisan ini adalah esay kuratorial pameran lima perupa muda yang berjudul “uncondentional trust” di hitam putih art space pada 8 desember 2012 – 8 januari 2013

SENI RUPA HUDA FAUZAN, SEBUAH DEDIKASI UNTUK ; HIDUP DAN KEHIDUPAN



SENI RUPA HUDA FAUZAN, SEBUAH DEDIKASI UNTUK ;  HIDUP DAN KEHIDUPAN
Seni rupa sebagai sebentuk media ekspresi diri dari sang kreator adalah sehamparan panggung yang teramat lapang  tempat  bergelinjangnya aneka gairah dan hasrat sang kreator dalam berproses kreatif dalam bingkai bahasa rupa. Dalam karya seni rupa terhampar segurat narasi pernyataan. Disana pula terhampar aneka muatan. Disana pula terhampar gagasan. Sebab karya seni rupa tak hanya terhenti pada aspek kebentukan, sebab karya seni rupa tak hanya artefak beku dari sebuah paradigma   estetika  tekstual semata. Seni adalah bagian dari hal ikhwal kehidupan, karya seni hendaknya tak memenara gading dalam sangkar emas estetika formalistik belaka, seolah olah kesenian itu wilayah yang steril dari persoalan kehidupan, yang lama terkukuhkan dengan sebuah jargon klise “art for art sake” atau “seni untuk seni”. Jargon yang didengungkan oleh kaum modernis formalis barat tersebut  telah lama  mereduksi aspek muatan kontekstual dalam karya seni rupa. Karya seni dalam paradigma estetika modernis formalis akhirnya hanya menjadi tempat onani estetis yang menjauhkan karya seni dari akarnya,  yakni; hidup dan kehidupan.
Namun seiring bergulirnya dialektika pemikiran dari paradigma modernisme  bergulir ke paradigm postmodernisme sebagai sebuah antithesis dari modernism dalam berbagai aspek keilmuan termasuk ranah pewacanaan dan penciptaan seni rupa, maka pandangan estetis formalis yang menyeterilkan seni rupa dari aspek di luar estetika mulai dipertanyakan, bahkan secara ekstrim diberontaki. Maka lahirlah karya seni rupa kontemporer yang merupakan bentuk perlawanan yang frontal atas kemapanan estetika formalistik. Dalam karya seni rupa kontemporer seorang seniman merasa tak puas hanya berhenti pada pencapaian dalam wilayah formalistik semata yakni hanya berhenti pada persoalan kebentukan (teks) semata, namun seorang seniman kontemporer juga akan  mempertimbangkan aspek muatan (konteks) yang berada di luar perkara rupa, dalam hal ini adalah; hidup dan kehidupan.
Adalah Huda Fauzan, salah seorang perupa kelahiran Jember yang kini berproses kreatif di Ubud, memandang dan memaknai proses berseni rupa yang ia lakoni sebagai bagian dari kehidupan. Pilihan menjadi seniman baginya adalah pilihan sadar, sebab tak mungkin berkesenian tanpa kesadaran. Maka seni rupa bagi seorang Huda Fauzan adalah bagian dari perjalanan hidup yang memang harus dijalankan sebab ia telah secara sadar menentukan pilihan pada seni rupa. Bersandar pada kesadaran akan sebuah pilihan hidup membuat proses berkesenian Huda Fauzan mengalir dalam setiap perjalanan hidupnya. Sebuah pilihan hidup akan menentukan kehidupan, dan kehidupan adalah sebuah proses menghidupi kehidupan. Pada kesadaran konseptual  inilah gagasan  Huda Fauzan tentang kehidupan yang merupakan “roh” dari gagasan kreatifnya  dalam berkeseni rupa akhirnya menemukan “tubuhnya” dalam sebuah event pameran tunggalnya yang berjudul Life is life, yang merupan bentuk dedikasi dan pernyataan kontekstual  seorang Huda Fauzan dalam memandang persoalan hakiki sebagai manusia yaitu; hidup dan kehidupan.
Kegelisahan kreatif  Huda Fauzan dalam memandang dan memaknai proses hidup dan kehidupan kemudian terejawantahkan dalam sebentuk bahasa rupa yang cenderung mengarah ke pola ungkap yang ekletis. Lihatlah betapa ekletisnya perpaduan  antara ekspresifnya kesan  figur-figur yang dikontruksi dengan teknik torehhan dan sapuan palet dengan kesan dinginnya latar belakang yang digarap dengan teknik flat. Sebuah pola ungkap dan bahasa rupa  yang dapat dibaca sebagai sehamparan teks rupa yang akan memproduksi sebuah pemaknaan yang tak hanya berhenti pada persoalan estetika, melainkan pada pemaknaan yang lebih luas dan kontekstual.  Bahwa hidup bergulir dalam kontradiksi-kontradiksi, antara yang ekspresif dan yang dingin. Antara  yang bergerak dinamis  dan yang terdiam berkontemplasi . Antara yang aktif dan yang fasif. Antara yang muda dan yang tua.  Antara si kuat dan si papa.   Demikianlah hidup adalah persimpangan yang terkontruksi dari kontradiksi-kontradiksi yang bersanding secara ekletis tapi harmonis di dalam gerak keseharian manusia dalam mengisi kehidupan ini. Huda Fauzan merekam dan memotret sisi-sisi lain dari proses kehidupan yang luput dari pengamatan umum. Setiap sisi –sisi kehidupan yang terekam dalam memori kreatif tersebut kemudian dihadirkan dalam fragmen-fragmen visual yang menyentuh, terkadang menggelitik, terkadang wajar tapi mendalam, terkadang pula Huda dengan nyaman memainkan aneka tanda dan simbol yang merepresesntasikan; hidup dan kehidupan.
Demikianlah sekelumit pembacaan saya tentang proses kreatif seorang Huda Fauzan, “selamat berpameran Mas, dan teruslah mencatat setiap perjalanan hidup dan kehidupan ini, karena dengan itulah hidup dan kehidupan ini terhidupi”
Tulisan ini adalah pengantar untuk pameran tunggal Huda Fauzan yang berjudul “Bringing life to life” di bozart galeri kerobokan pada april 2012

"PROLOG"



“PROLOG”
( Pameran Komunitas Puntung Rokok)


 Istilah Prolog adalah suatu yang  sudah sangat familiar terdengar dalam dunia seni  peran semisal drama atau yang lebih kompleks lagi seni teater. Istilah prolog mengacu pada sebuah narasi atau orasi yang dibawakan sebagai pembuka sebuah adegan yang berfungsi untuk menggiring pemirsa memasuki dan memahami secara garis besar alur cerita sebelum menyimak detil demi detil adegan yang dibawakan dalam alur cerita. Secara konvensional prolog tersaji dalam bentuk bahasa  verbal, namun prolog juga bisa hadir dalam  gerak (gestur), bebunyian (audio) bahkan citra (visual). Prolog serupa wajah sebuah pertunjukkan, karena hadir paling awal maka kehadiran prolog harus menyentak, dan menarik perhatian pemirsa, layaknya jargon sebuah iklan  “kesan pertama begitu menggoda”. Begitulah prolog,  ia berfungsi sebagai upaya mediasi, antara gagasan seorang kreator dengan pemirsanya. 
Makna prolog tersebut kemudian dipinjam dan dimaknai secara lebih luas  oleh sekelompok perupa muda yang bernaung di bawah komunitas punting rokok, sebagai sebuah judul untuk membingkai pameran mereka yang direncanakan akan diadakan di art hause lovina pada mei tahun 2012  dalam pameran tersebut akan tampil lima orang anggota komunitas mereka antara lain; Bravo Cindra Wahyu Merdekawanto, Denta Pamugar, Wiranda, Tri Akta Bagus Prasetya, dan Fiki Dwi Cahyono. Secara konseptual “Prolog” dimaknai sebagai sebuah penanda tentang awal kiprah mereka untuk berpameran bersamaatas nama komunitas, pameran ini juga adalah upaya mereka melakukan proses mediasi antara gagasan mereka dalam karya yang akan ditampilkan dengan para pemirsa, dalam hal ini medan sosial seni rupa di Bali, terkhusus lagi medan sosial seni rupa buleleng, sebagai tempat mereka berproses sembari menempuh pendidikan kesenirupaan  selama hampir lima tahun. 


Komunitas punting rokok adalah sebuah komunitas kreatif yang berbasis anak muda yang beranggotakan para mahasiswa jurusan pendidikan seni rupa undiksha singaraja. Komunitas ini terbentuk sejak tahun 2008, pada mulanya komunitas ini adalah sebuah  komunitas yang lebih focus pada dunia teater, karena banyak pentolan-pentolan komunitas ini adalah para aktivis- aktivis teater. Kemudian beberapa tahun terakhir komunitas ini juga aktif bergiat dalam dunia seni rupa pertunjukkan (performance art). Saya masih ingat ketika pertama kali menyaksikan komunitas ini melakukan aksi performance art di areal halaman kampus bawah FBS undiksha, kala itu sekitar pertengahan tahun 2010 mereka diminta untuk mengisi acara perpisahan para mahasiswa seni rupa yang sudah tamat.  Dalam acara yang bertajuk “menuju dunia baru” tersebut  komunitas ini cukup menyita perhatian pemirsa, dengan garapan yang menceritakan tentang proses kelahiran, mereka cukup cerdas dan kratif dalam memanfaatkan aneka elemen elemen visual, dalam pertunjukkan tersebut.  Sejak menyaksikan garapan mereka tersebut, saya yakin bahwa mereka adalah orang-orang muda  yang potensial dengan cadangan bakat  melimpah.
Kini saya kembali berkesempatan untuk menyaksikan gebrakan dari komunitas punting rook, sebab saya  diminta untuk menjadi seorang pembaca dari hasil  proses kreatif mereka berseni rupa dalam sebuah esay kuratorial. Baiklah, agar tidak ngelantur, maka saya mulai saja pembacaan saya terhadap karya dari Bravo. Dalam karya-karyanya bravo menghadirkan sebuah teks visual berupa batang pohon karet yang di close up sehingga menghadirkan tekstur dari batang pohon karet yang khas. Tekstur batang tersebut digarap secara ralistik sehingga menghasilkan sebuah tekstur yang semu, sebuah ilusi yang tampak bertekstur tapi sesungguhnya flat. Secara estetika tekstur batang karet tersebut adalah sehamparan teks visual yang cenderung mengarah ke abstraktif hal ini terjadi jika imaji pemirsa tentang batang pohon karet dibuang, sehingga yang hadir hanya jejak-jejak kuas yang atraktif. Tapi jika pembacaan kita perluas lebih dari sekedar sisi estetis semata, maka citra batang pohon karet yang dihadirkan oleh bravo, segera menyeret ingatan kita pada narasi seputar kehidupan para buruh penyadap karet dan kesehariannya.
Denta memotret hal yang sangat sederhana dalam kehidupan sehari-hari yakni seputar permainan rubik, sebuah permainan yang berupa rangkaian kubus dari plastik yang harus disusun sesuai warna yang sama di setiap sisinya. Realitas bermain rubik yang tampak sederhana itu oleh denta diolah dengan bahasa parodi yang terkadang satir, lihat misalnya tangan terborgol yang sedang bermain rubik bergambar fragmen- fragmen logo instansi kepolisian, yang diselingi secara acak oleh fragmen- fragmen bergambar timbangan dan uang, serangkain teks visual yang denta hadirkan ini hendak bernarasi tentang carut marut dunia hukum dan peradilan di negeri ini. Ketika aparat penegak hukum bisa mempermainkan hukum dengan uang, realitas suap menyuap menjadi rahasia umum di dunia hukum kita, hukum hanya berpihak kepada si berpunya, maka rasa keadilan masyarakat pun tercedari.
Wiranda menghadirkan pencapaiannya dalam wilayah realism yang cukup menjanjikan, ia menhadirkan potret wajah orang tua dengan warna-warna yang cenderung monokrom karya wiranda menghadirkan kesan kemuraman yang misterius. Karya-karyamya menghadirkan teks visual berupa kerutan-kerutan wajah yang realistik. Secara kontekstual penghadiran wajah-wajah orang tua yang digarap dengan teknik drawing yang monokrom tersebut menghadirkan kesan muram, menyimak karya wiranda saya teringat kutipan syair lagu ebiet g ade , “benturan dan hempasan terpahat di keningmu”  sebuah narasi yang liris tentang masa tua, dimana sebagian para lansia atau orang lanjut usia yang  terpaksa bekerja membanting tulang demi sesuap nasi, realitas mungkin sering kita jumpai di sekitar kita.
Pras menghadirkan karya karya yang ekletik. Ekletik adalah sebuah gaya bahasa visual yang berkembang di era postmodern yang menghadirkan suatu olah visual yang bertolak belakang, atau berbenturan. Lihat misalnya bagaimana pras menghadirkan wayang kulit jawa yang cenderung flat dan dekoratif dengan objek-objek realistic seperti celana jeans dan handphone, sebuah garapan visual yang ekletik sekaligus parodik yang hendak merekam bagaimana kuatnya arus budaya modern dalam menghegemoni kehidupan kita., sebuah kondisi yang ditandai dengan menguatnya arus budaya konsumtif dalam kehidupan kita, tanpa kita sadari iklan telah memprovokasi selera kita untuk terus mengkonsumsi komoditi-komoditi yang diobral oleh korporasi-korporasi capital, kita telah dijadikan pecandu yang pasif dalam mitos globalisasi.
Sedangkan fiki memilih bahasa visual yang cenderung surealistik pada karya-karyanya, lihat misalnya dalam sebuah karya yang menampilkan seorang anak jalanan yang tertidur lelap dalam sebuah rel kereta api yang terkesan tak berujung sementara ada sekelompok anak  lengkap dengan pakaian sekolah melintas menuju ujung rel kereta yng entah dimana, tapi di sana ada pijar matahari yang tersamar dari kejauhan. Karya fiki ini segera menyeret ingatan kita pada kehidupan kaum urban di kota-kota besar, salah satu realitas urban yang cukup sering menohok nurani kita adalah realitas kehidupan anak jalanan yang berjuang keras menyambung hidup di tengah belantara kota yang kejam. Mereka terpaksa menggadaikan cita-cita menikmati pendidikan di jalanan, apa daya sebab pendidikan dihargai sangat mahal di republik ini. Dunia pendidikan kita tengah tenggelam dalam paradok-paradok, di satu sisi sekolah-sekolah internasional dengan pulasan dan gincu pencitraan yang kinclong berdiri dengan megahnya diantara sekolah-sekolah yang rubuh dan reot, realitas pendidikan yang semakin melebarkan jurang antara si berpunya dan si papa.

Demikianlah sekelumit pembacaan saya twerhadap karya-karya yang dihadirkan dalam pameran “prolog” oleh para sahabat yang tergabung dalam komunitas punting rokok kali ini. Pameran ini barulah “prolog” dari pertunjukkan proses kreatif mereka yang akan terus berlanjut, saya berharap setelah “prolog” ini pencapaian kreatif kawan-kawan puntung rokok ini akan terus berlanjut ke “babak-babak” dan ke “episode-episode “ yang panjang, agar tak lekas terklimakskan “epilog”. Dengan cadangan bakat dan komitmen para angotanya saya yakin mereka akan terus mampu bertahan dan bergerak dalam proses kreatif yang dinamis. Komunitas puntung rook juga diharapkan mampu menjadi inspirasi bagi lahirnya kominitas-komunitas serupa terutama dikalangan mahasiswa seni rupa, agar benih-benih iklim kreatif yang kini tengah tumb8h subur di bali utara tak padam. Semoga.
Tulisan ini adalah esay kuratorial pameran komunitas pontung rokok yang berjudul “prolog” di art hause lovina pada bulan maret 2012

Tentang Suara Rupa

Suara Rupa adalah sebuah "panggung" sederhana yang berusaha menyajikan gagasan dan cara pandang tentang kebudayaan khususnya dunia seni rupa dalam perspektif praktik, wacana, ataupun pendidikan dan pengajarannya

tentang penulis

suara rupa
I Made Susanta Dwitanaya, lahir di tampaksiring gianyar bali, pada 22 juli 1987. menempuh pendidikan kesenirupaan di Jurusan Pendidikan Seni Rupa Undiksha Singaraja (2005-2010. Berminat pada dunia kepenulisan sejak masih kuliah
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.