MEMPERTIMBANGKAN KONTEN LOKALITAS
DALAM KOMIK INDONESIA
Istilah komik diadopsi dari istilah dalam bahasa ingris
yakni, comics. Istilah komik merujuk pada perwujudan dari sastra gambar. Kata
komik berasal dari bahas perancis, yakni comique, yang berasal dari kata sifat
yang berarti lucu atau menggelikan dan sebagai kata benda artinya pelawak atau
badut. Pengertian ini mengacu pada apa
yang berkembang di masa lampau, dimana cerita bergambar atau komik
umumnya mengacu pada cerita – cerita humoris atau satiris untuk menghibur
khalayak. Sedangkan Scott Mc Cloud memberi pengertian bahwa komik merupakan
gambar-gambar serta lambing-lambang
yang terjuktaposisi dalam urutan
tertentu, untuk menyampaikan informasi dan mencapai tanggapan estetis dari
pembacanya1.
Di dunia barat komik modern mulai
dikenal di swedia pada tahun 1833,
adalah seorang kepala sekolah bernama
Rudolphe Topffer membuat rangkaian gambar-gambar bercerita yang kemudian
“diyakini “ sebagai cikal bakal dari komik. Komik juga mulai berkembang di ingris pada tahun 1867 ditandai dengan dimuatnya serial Ally Sloper di Koran Judy. Sedangkan di negeri pamansam
Amerika komik pertama kali muncul pada akhir abad ke 19, ditandai dengan
kemunculan sebuah serial kartun politik, yang bernama yellow kid, hasil ciptaan dari W.F. Outcault2. Sederet
nama dan tahun tersebut adalah sederet nostalgia historis yang tercatat dalam
sejarah komik barat yang “diyakini” sebagai tongak-tongak perkembangan seni
komik modern.
Bagaimana kemudian dengan sejarah
perkembangan komik di belahan dunia timur., termasuk Indonesia? Jika menagcu
pada konteks penciptaan bentuk-bentuk
komik modern seperti dalam persepsi barat, kita mungkin akan dianggap
lebih belakang ngomik dibandingkan
dengan orang barat. Namun dalam bentuk-bentuk karya seni rupa tradisional yang
berkembang di nusantara sejak berabad abad lampau, kita sebenarnya memiliki
warisan karya seni rupa yang secara
karakteristik visual, menampakkan unsur naratif, dan berwujud sekuen gambar
dengan kombinasi tulisan layaknya komik, atau tidak berlebihan jika
bentuk-bentuk karya rupa tradisional tersebut sebagai cikal bakal komik di
Indonesia.
Dimulai dengan bentuk – bentuk
peninggalan karya seni rupa nusantara. Lihat misalnya relief Borobudur, seni
ukir yang tertera pada bagian kaki candi tepatnya pada bagian kama datu dan
arupa datu memperlihatkan pencapaian bangsa Indonesia pada masa itu tentang
seni relif yang menampakkan visualisasi dengan karakter visual yang cenderung
realistik dan volumetrik. Walaupun tanpa tulisan, relief Borobudur dapat
dikatagorisasikan sebagai bentuk seni komik, karena di dalamnya terdapat unsur
seni komik, yakni unsur naratif serta unsur sequential. Unsur sequen yang
dimagsud karena relief ini bertutur tentang kehidupan sidarta gautama secara
runut dari sejak lahir hingga dewasa dan memperoleh pencerahan sebagai sang
budha. Disamping menunjukkan sisi kehidupan sang budha, relief ini cukup
memberi informasi tentang bagaimana kehidupan masyarakat nusantara pada masa
itu, karena relief tersebut juga menghadirkan pahatan tentang kehidupan
sehari-hari masyarakat secara detail.
Dari tanah Dewata, Bali terdapat
pula peninggalan berupa seni relief di dinding-dinding tebing sungai pakerisan
dan petanu. Salah satunya adalah relief yeh pulu yang terdapat di Bedulu
Gianyar. Secara historis keberadaan relief ini masih menjadi misteri di
kalangan peneliti dan arkeolog, relief ini belum diketahui pasti berasal dari
periode sejarah bali yang mana, karena tidak ada tertera angka tahun yang
tertera pada relief ini. Namun secara visual relief ini tampak naratif dan
bercerita tentang kehidupan masyarakat Bali kuno, sebelum invasi majapahit ke
Bali. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti tentang cerita yang
dipahatkan pada relief dipermukaan tebing sungai petanu tersebut, namun dari
sisi visual relief yeh pulu juga dapat dikatakan sebagai cikal bakal seni
gambar naratif Bali khususnya.
Selain dalam bentuk peninggalan
karya seni rupa yang bersifat arkeologis historis, cikal bakal seni komik
ataupun seni gambar naratif di Indonesia dapat dilacak dari warisan
bentuk-bentuk karya seni rupa tradisional
yang masih dapat kita jumpai pada massa kini.Di jawa dikenal sebuah
bentuk pertunjukkan wayang yang memakai media lembaran-lembaran gambar sequen
atau fragmen-fragmen adegan cerita pewayangan, sang dalang hadir sebagai sang
penutur yang mempresentasikan gambar-gambar tersebut pada kerumunan penonton
yang mengerumuni pertunjukkan tersebut, bentuk pementasan wayang seperti ini
dikenal oleh masyarakat jawa sebagai seni wayang beber. Kata beber
mungkin mengacu pada pemakaian lembaran-lembaran gambar pada kain kanvas yang
dibeber atau dibentangkan oleh sang dalang
di hadapan penontonnya. Pelukisan wayang beber yang menghadirkan
fragmen-fragmen dari adegan dalam cerita pewayangan memperlihatkan tanda-tanda
sebagai seni gambar yang sangat naratif sehingga wayang beber juga adalah
bentuk seni komik khas masyarakat jawa dan sekitarnya.
Bentuk karya seni rupa
tradisional lainnya yang secara kasat mata menunjukkan karakteristik komik,
berasal dari pulau Bali, bentuk karya seni rupa tradisional tersebut dikenal
dengan istilah seni prasi. Seni prasi adalah sebuah bentuk karya seni
rupa tradisional bali, yang memperlihatkan
kombinasi antara rangkaian gambar-gambar dan tulisan-tulisan aksara bali. Seni prasi
dibuat dengan teknik cukilan dan memakai pisau khusus yang dikenal
sebagai pengrupak yang berfungsi untuk mencukil atau menorehkan gambar dan
tulisan pada permukaan daun pohon tal atau yang lebih dengan rontal. Kombinasi
antara pemakaian bahasa gambar dan bahasa tulisan dalam karya prasi membuat tampilan prasi lebih mirip
cerita bergambar atau cergam, sebuah
istilah dalam bahasa Indonesia yang juga dapat dipadankan dengan istilah
komik.Komposisi antara gambar dan tulisan pada prasi terlihat berimbang
sehingga terlihat tidak saling mendominasi, antara teks tulisan berupa aksara
dengan teks visual berupa gambar, keduanya hadir saling menguatkan, tanpa ada
niatan untuk menjadi lebih superior satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa prasi adalah kesatuan yang utuh antara
gambar dan tulisan layaknya sebuah komik. Cerita-cerita yang diangkat dalam
sebuah prasi umumnya adalah cerita pewayangan (Ramayana Mahabarata ), cerita
panji (malat), vabel (tantri) serta astrologi – astronomi (pelelintangan).
Sampai sekarang proses pewarisan dan regenerasi dari seni prasi berjalan sangat
dinamis, melalui sistem transformasi ala cantrikisme dan pewarisan. Seni prasi banyak berkembang di wilayah timur
pulau bali yakni sidemen, tenganan (karangasem dan sekitarnya) serta di wilayah
bali utara, tepatnya di desa bungkulan (singaraja), serta wilayah lainnya di
bali.
Bentuk-bentuk warisan karya seni rupa tradisional yang kita miliki
seperti yang tertera diatas, menunjukkan betapa melimpahnya potensi konten
loklitas yang kita miliki terutama
dalam bidang seni komik, kemelimpahan konten
tersebut bukan saja berhenti sebagai artefak yang membeku, namun telah
menjadi sosiofak yang terus diregenerasikan dan dilakoni oleh masyarakat
komunal pendukungnya, sebut saja denagn seni wayang beber di jawa ataupun seni
prasi di bali, bentuk-bentuk kesenian itu sampai tulisan ini dibuat masih tetap
ada mengisi ruang-ruang rutinitas masyarakat pendukungnya, menjelma menjadi
dialek sosial, menjadi ekspresi komunal.
Kemelimpahan konten lokalitas ini adalah
potensi yang dapat dieksplorasi lebih jauh dalam proses penciptaan komik
Indonesia yang berkarakter Indonesia. Walaupun dalam diskursus sosial kultural
kita kerap menemukan perdebatan dalam memaknai identitas keindonesiaan dalam aspek-aspek kehidupan
sosial budaya termasuk dalam dunia seni rupa, namun kehadiran konten lokalitas dalam komik Indonesia setidaknya
mampu menjadi salah satu “rute” yang
dapat ditempuh untuk memberikan label yang khas pada komik Indonesia, layaknya
jepang yang mampu menghadirkan manga
sebagai duta politik kebudayaan mereka.
Upaya – upaya pengahadiran konten
lokalitas baik berupa nilai, narasi, serta kosa rupa tradisi dalam komik kita
sebenarnya sudah dimualai oleh para komikus-komikus senior Indonesia, dalam hal
pengahadiran konten lokalitas dalam karya komik, maka komikus senior Indonesia R. A .Kosasih boleh
jadi salah satu ikon komikus Indonesia yang getol menghadirkan konten lokalits
, berupa serial Mahabarata dan Ramayana yang menjadi masterpiece-nya, atupun
komik-komik cerita rakyatnya yang lain. Kosasih sukses mengeksplorasi
lokalitas, dari narasi atupun dari sisi kosa rupa. Dari sisi kosa rupa
misalnya, kosasih melakukan perluasan ekspresi wimba wayang dalam setiap
karya-karyanya. Wimba wayang dalam karya-karya kosasih dieksplorasi secara
kreatif dan dikemas dengan teknik menggambar ala seni rupa modern, seperti
penambahan unsur anatomi yang proprsional dan mengarah kepada gambar realistik,
namun tetap berkarakter Indonesia, misalnya dari karakteristik busana ataupun
raut wajah dari tokoh-tokoh yang digambarnya sangat indonesia.
Apa yang dilakuakn Kosasih
ataupun komikus senior yang lain, dalam menggali potensi dan kemelimpahan
konten lokalitas tersebut dapat memberi
inspirasi bagi komikus-komikus muda yang kini tumbuh di Indonesia umumnya dan
di Bali khususnya. Kemelimpahan kosa tradisi tersebut adalah potensi yang
strategis dalam era kini. Era dimana kanon seni rupa dunia tidak lagi terpusat
di eropa dan amerika, dan telah bergeser ke asia ataupun ke belahan dunia yang
lain, maka wacana tentang etnisitas kembali mendapatkan posisi yang strategis
dalam pertarungan wacana seni rupa. Maka dalam era ini sudah bukan jamannya
lagi kita terlena dan menyimpan warisan budaya lokal kita dalam gudang penyimpanannya yang usang,
dalam sebuah sangkar emas budaya adiluhung, yang merupakan wariasan stigma orientalisme ala kolonial, yang terbukti
hanya menjebak kemelimpahan teks budaya lokal
kita, hanya berhenti sebatas membangun citra turisme semata. Sudah waktunya
konten lokalitas kita hadir dalam kemasan yang lebih segar, lebih gurih, lebih
seksi, dan mewakili semangat jamannya
namun tak kehilangan akar dan cita rasa indonesia, sudah waktunya kekayaan
budaya lokal yang kita miliki tampil
sebagai “duta-duta” dan “diplomat-diplomat” dalam politik kebudayaan bangsa
ini, yang tak pernah terumuskan dengan jelas mau kemana arahnya .
Even pameran yang bertajuk “Komik Dalam Laci” yang digagas oleh rumah
komik 22 mungkin hanyalah salah satu langkah kecil dari cita- cita besar,
membangkitkan kembali dunia komik Indonesia, dan mengembalikan komik Indonesia
agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tak mudah memang di tengah era
ledakan gambar seperti sekarang ini, ditambah lagi dengan gemuruhnya gempuran
komik-komik impor terutama manga dari jepang, yang terbukti mampu menghegemoni
selera para penikmat komik Indonesia dari kanak-kanak hingga dewasa, kondisi
ini seharusnya mampu melecut dan membangunkan komik Indonesia untuk tampil
merebut panggung apresiasi masyarakatnya sendiri. Dan apa yang kami lakukan di
rumah komik 22 hanyalah sebuah langkah kecil, tapi kami percaya bahwa setiap
pergerakan selalu dimulai dari sebuah langkah kecil. Semoga rumah komik 22
mampu menjadi sebauah ruang kebudayaan alternatif dengan visi sebagai wahana
counter culture, di tengah hingar bingarnya arus budaya kontemporer saat ini.
Semoga.
Tulisan untuk katalogus “Komik
Dalam Laci” Rumah Komik 22 Bedulu
0 komentar:
Posting Komentar