MEMBACA BULIAN*
Bulian merupakan salah satu desa tua yang tersudut di lereng
pegunungan Bali Utara yang kerontang karena “nasib” ekologis desa ini yang tak
begitu menguntungkan. Namun kondisi itu seolah kontras dengan kekayaan
kultural yang tumbuh subur di desa ini.
Kekayaan kultural itu terbentang melalui jejak arkeologi sejak masa Dinasti
Warmadewa berkuasa di Bali pada awal abad ke-9. Di tempat inilah diyakini bibit
peradaban Bali kuno mulai tumbuh. Hal ini diperkuat oleh kata Bulian, yang
berasal dari kata Bulih, yang dalam
bahasa Bali berarti bibit. Bulian secara kultural memiliki narasi yang
terbentang dari masa lampau ke masa kini. Dari warisan budaya berupa sistem
kemasyarakatan yang khas, yaitu sistem kepemimpinan kolektif bernama Krama Desa
Linggih, hingga mitos tentang Bhatara Katon, yang diyakini masyarakatnya
sebagai dewa yang mengutuk Desa Bulian menjadi sekerontang hari ini, sebagai
akibat kesalahan yang dilakukan leluhur orang Bulian.
Sederet narasi tentang Bulian itu kemudian direpresentasikan
dalam karya senirupa oleh sejumlah dosen, mahasiswa, dan alumni Jurusan
Pendidikan Seni Rupa Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja Bali,
dalam sebuah pameran bertajuk “ Bulian” di Museum Neka, Ubud Bali, sejak 27
Juli-27 Agustus 2009. Pameran ini menampilkan karya-karya kolektif yang dibuat
secara berkelompok oleh para dosen, mahasiswa, dan alumni. Mereka menciptakan
berbagai jenis karya , seperti lukisan, drawing,
instalasi, obyek, dan performance art,
dengan semangat kolektif tanpa ada penonjolan jejak-jejak individu di dalamnya.
Hal ini terlihat dalam pemajangan karya
di ruang pameran yang tidak menyertakan satu identitaspun dari seniman
pembuatnya.
Konsep pameran kolektif ini mengingatkan kita pada konsep
berkesenian para seniman tradisional Bali pada masa lampau,
yang masih kuat memegang teguh nilai-nilai komunal dalam ranah kesenian.
Realitas itu masih dapat kita saksikan dalam sebagian praktik senirupa Bali.
Hardiman selaku kurator pameran,
menuliskan dalam catatan kuratorialnya bahwa “ Dalam banyak kasus pada karya
senirupa Bali, sulit memisahkan teks-teks (narasi) budaya dengan pernyataan
individu. Begitu halnya dalam eksekusi visualnya, betapa misalnya teks visual
telah menjadi dialek bagi sejumlah perupa Bali. Nilai komunal dalam hal ini
telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam praktik senirupa (modern) di Bali”.
Karya-karya yang disajikan dalam pameran “ Bulian” ini
diklasifikasikan dalam empat subtema, yang dipresentasikan dalam empat ruangan
pula. Yakni ; ruang pertama untuk kuliner dan produksi. Dalam ruangan ini
karya-karya yang ditampilkan mencoba mempresentasikan kuliner orang-orang
Bulian yang sebagian divisualisasikan dalam beberapa karya, seperti instalasi
dan cooking performance . dalam cooking performance, pengunjung pameran
disuguhi dengan kue lak -lak (kue
khas Bali yang mirip dengan kue serabi) yang dimodifikasi dan dibentuk
menyerupai wajah anak-anak, untuk kemudian dimakan oleh pengunjung. Ada
tegangan visual yang terasa dalam karya ini, yakni soal eksistensi adat
istiadat orang Bulian di tengah modernitas yang siap memangsa.
Ruang kedua mengetengahkan tentang sosial dan
kemasyarakatan, yang mempresentasikan tatanan sosial masyarakat Bulian yang
unik. Namun sebagai desa dinas yang masih menjadi bagian dari struktur
kehidupan bernegara, Bulian pun takluk pada aturan administratif yang teramat
absurd bagi masyarakat Bulian. Realiats ini yang kemudian direpresentasikan
dalam instalasi kantor desa, yakni dengan memindahkan isi kantor Kepala Desa
Bulian secara utuh ke ruang pameran.
Sejumlah lukisan potret tokoh-tokoh masyarakat Bulian
disandingkan dengan potret anak-anak bulian yang digarap secara drawing.
Karya-karya ini menghiasi dinding pada ruang ketiga, yaitu tentang potret dan
tokoh. Karya-karya itu seolah mempertanyakan soal transformasi nilai antar
generasi. Maukah anak-anak Bulian itu mewarisi apa yang diwariskan tetua
mereka? Atukah anak-anak itu akan merubah Bulian di masa depan?
Mitos dan religi orang Bulian dipresentasikan di ruang
keempat. Pembayaran utang orang bulian kepada
roh leluhur mereka diwujudkan dalam ritus Aci Bulu Geles , berupa pengorbanan
tiga ekor sapi. Ritus Aci Bulu Geles ini direpresentasikan dalam sebuah karya
instalasi yang menampilkan kulit (belulang) sapi yang dilukis. Mitos tentang
Batara Katon, sosok ajaib yang mengutuk Desa Bulian, dihadirkan lewat karya
komik, sehingga narasi tradisinya terasa sangat kontemporer.
Pameran karya kolektif Jurusan Pendidikan Seni Rupa Undiksha
ini semoga mampu menjadi alternatif pilihan bagi pencinta senirupa di Bali, di
tengah maraknya pameran komersial yang cenderung menyajikan keseragaman gaya
yang menjemukan.
*Tulisan ini adalah ulasan tentang
pameran kolektif Jurusan Seni Rupa Undiksha Singaraja Bali, yang
bertajuk Bulian. Tulisan ini juga dimuat di Rubrik kampus Majalah Visual Arts,
Volume 6 # 33, oktober-november 2009.