“NGALIH MULIH”
Tentang “Garis Merah”;
Tentang Pencarian Ideologi
Perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia termasuk
Bali, dalam dua dekade terakhir ini kerap diramaikan dengan munculnya
perupa-perupa muda yang menghimpun diri dalam kelompok-kelompok seni rupa.
Sehingga tak mengherankan di Bali banyak bermunculan kelompok-kelompok perupa
muda yang terus menerus secara konsisten meretas jalan eksistensi diri dan
kelompok mereka masing-masing dengan strategi dan garis perjuangan masing-masing
. Hal ini tentu sangat mengembirakan bagi publik seni rupa Bali sebab semakin
banyak berdiri kelompok-kelompok perupa maka semakin ramai pula geliat
kesenirupaan di Bali baik dari sisi proses kreatif maupun sisi pewacanaan.
Salah satu kelompok perupa muda yang siap meramaikan geliat
seni rupa kontmporer Bali adalah kelompok “Garis Merah” sebuah kelompok yang
terdiri dari lima orang perupa muda yakni Nyoman Pimen , Made Bijal, Made
Anduk, Gus Boim, dan Gus Koh. Kelompok “Garis Merah” secara sadar berusaha
menjadi berbeda dalam memandang arus trend seni rupa kontemporer Bali bahkan
nasional yang menunjukkan gejala menguatnya suatu trend visual tertentu yang
cenderung dianggap menjadi mainstreme
seni rupa kontemporer . Salah satu upaya mereka dalam merespon kondisi tersebut
adalah dengan merumuskan sisi ideologis
kelompok. “Garis Merah” meyakini bahwa untuk dapat menjadi berbeda dengan arus
besar seni rupa kontemporer Bali, maka sisi ideologis kelompok harus dirumuskan,
lalu ditegaskan dan diproklamirkan kehadapan publik seni rupa Bali, melalui
sebuah event pameran.
Dalam upaya merumuskan dan mempertegas ideologi kelompok tersebut, maka “Garis Merah” meyakini bahwa
kita perlu menengok kembali akar budaya kita, yakni budaya Bali, budaya
dalam pengertian ini bisa bermakna ganda baik dari sisi teks (kosa rupa)
maupun konteks (nilai, wacana dll) . “Garis Merah” meyakini bahwa budaya Bali
sangatlah kaya baik dari sisi estetis, maupun sisi filosofisnya. Maka “Garis
Merah” secara tegas merumuskan garis ideologis mereka untuk berusaha menggali
dan mengeksplorasi sisi etnisitas Bali, sebagai jawaban konseptual untuk bisa
survive atau bertahan dalam pertarungan gagasan dan wacana seni rupa
kontemporer dunia. Dalam kondisi era keterbukaan dan zona kebebasan ini “Garis
Merah” tetap meyakini bahwa karakteristik dan ciri khas (orisinalitas ) masih memiliki nilai tawar yang strategis, di
tengah era hipercitra dan hipertanda ini. Dan pilihan itu akhirnya jatuh pada
satu entri point yakni budaya Bali, tentu saja dalam kemasan kontemporer untuk membahasakan wacana dan isu kekinian.
Salah satu momen untuk mempertegas dan mengkomunikasikan gagasan ideologis kelompok
“Garis Merah” adalah dengan merancang
sebuah event pameran seni rupa yang diberi judul “ Ngalih Mulih” pemilihan judul dengan memakai kata dari
bahasa ibu, yaitu bahasa bali adalah sebentuk pernyataan sikap dari kelompok
“Garis Merah” untuk bermain di wilayah etnisitas Bali. Secara kebahasaan, kata “Ngalih Mulih”
berarti “mencari sesuatu sesuatu yang tertinggal dalam rumah sendiri” biasanya seorang yang keluar rumah akan
kembali lagi ke dalam rumah jika merasa ada sesuatu yang tertinggal di rumah,
arti kata tesebut yang kemudian dimaknai oleh kelompok “Garis Merah” sebagai
upaya melihat kembali sang diri (budaya Bali) untuk diolah dan dielaborasikan
menjadi bahasa personal yang khas dan berkarakter yang akan digunakan sebagai
“senjata” estetis untuk mengeksekusi gagasan-gagasan dan isu-isu global dan
kekinian yang sedang terjadi baik itu di Bali, Indonesia, bahkan Dunia. “ Garis
Merah” menegaskan bahwa untuk bicara global kita jangan minder dan segan
memakai bahasa lokal, bukankah kekuatan lokalitas sangat diperhitungkan dalam
pandangan postmodernisme, sebagai “indegeneous art”.
Tentang karya; Tentang
Kegelisahan dan Pernyataan diri.
Karya-karya yang ditampilkan para anggota garis merah
menunjukkan suatu upaya mereka untuk melihat kembali potensi yang ada di ruang
lingkup budaya sendiri. Sebagai seniman akademis, jebolan perguruan tinggi
seni, yang sudah barang tentu secara terorganisir oleh kurikulum “disuguhi”
esteika ala akademisme barat, disatu sisi telah menggugah kesadaran mereka bahwa sudah terlampau lama mereka telah
meninggalkan “rumah budaya” sendiri, dalam hal ini Bali. Mereka kemudian
menganggap masih banyak yang tertinggal di rumah sendiri, dan musti dicari,
lalu apa yang mereka temukan?
Sebagian dari mereka menemukan nilai estetis pada warisan
kosa rupa, yang tak pernah akan jadi artefak beku, sebab kosa rupa bali terus
bergerak dalam regenerasi yang dinamis. Sebagian dari mereka tertarik, lalu
mengambilnya, diolah kembali lalu lahirlah tampilan - tampilan estetis yang khas , tapi tetap tak
kehilangan nilai budaya lokal. Sedangkan sebagian lagi menemukan spirit, serta
narasi tematis dari sebuah rumah kebudayaan bernama bali.
Nyoman pimen, menghadirkan hasil eksplorasi estetisnya selama
ini tentang garis. Garis-garis tegasnya yang sebagian besar didominasi oleh
garis-garis lengkungnya membentuk
figur-figur yang tampak khas. Figure-figur tersebut tampak primitif, naïf,
sekaligus magis, sesekali pada saat ia melukiskan gambar wajah, maka cara
kepelukisannya segera menyeret ingatan kita pada cili, ataupun pada wayang.
Yang menarik pula pada proses kreatifnya, secara sadar jika ada bagian dari
karya yang menurutnya salah, ia tidak
berupaya untuk menghapus ataupun menutupnya dengan sapuan warna,ia biarkan saja
goresan-goresan yang dianggapnya “salah” tersebut secara apa adanya, dan justru
menjadi bagian dari estetika visual pada setiap karyanya. Secara sadar ia
mengunggkapkan bahwa proses kreatifnya tersebut adalah upaya dirinya dalam
menghayati proses kejujuran dalam berkarya, baginya kesalahan adalah kejujuran,
dengan memberikan ruang pada kesalahan di setiap karya-karyanya ia ingin
menunjukkan bahwa tak ada yang perlu ditutupi dari sebuah proses mencipta karya
seni, karya seni baginya terlampau egois jika hanya memulas diri dalam bedak
keindahan semata, sebab untuk menghasilkan keindahan kita pasti melalui proses
ketidak indahan, salah satunya kesalahan
dalam menggores , dan hal tersebut bagi
pimen tak perlu dihapus tapi ditampilkan saja apa adanya. Secara kontekstual
karya-karya pimen banyak berbicara pada persoalan sosial dan perubahan gaya
hidup masyarakat bali, perubahan gaya hidup dari cara berpakaian hingga cara
pandang seputar nilai-nilai dalam kemasyarakatan , misalnya dalm karya yang
berjudul samar, pimen mencoba merekam realitas perubahan gaya hidup sebagian
kalangn muda, dalam hal fashion misalnya banyak anak muda di bali yang mengecat
rambut mereka dengan aneka warna warni, layaknya rambut samar, atau mahkluk
gaib dalam keyakinan orang bali, karya ini menyajikan narasi yang parodik
tetapi dengan tampilan visual yang tampak getir . Pimen juga menampilkan karya
lukis di atas media kain lap, sebuah benda keseharian yakni kain lap disentuh
oleh pimen dengan tampilan visual hingga “derajat” kain lap tersebut “naik”
dari benda yang remeh temeh menjadi karya seni, disini pimen seperti hendak
berbicara bahwa nilai suatu karya tidak diukur dari media, tapi dari konten
estetik yang dihadirkan sebuah karya.
Made bijal, menghadirkan sebuah karya objek yang disusun
sedemikian rupa menjadi rangkaian karya instalasi. Dalam karya yang berjudul “
Alamku” Bijal menghadirkan beberapa buah objek berupa kulit kakao atau kopi
coklat yang disentuh dengan lukisan-lukisan dekoratif yang menjadikan pohon
sebagai subject matter. Ikon-ikon pohon pada karya bijal tampak sangat kental
kosa rupa tradisinya, cara bijal menghadirkan ikon-ikon pohon, sarat dengan
nuansa deformasi ataupun stilirisasi yang sangat kentara jejak-jejak
tradisinya. Tak mengerankan memang karna Bijal terlahir di lingkungan pelukis
tradisi di daerah batuan, sehingga karya-karyanya tak terlepas dari corak
tradisi. Dalam karya yang berjudul alamku bijal menghadirkan sebuah nilai
perenungan tentang kondisi alam yang terperosok pada eksploitasi secara
berlebihan oleh manusia. Hal ini diperkuat dengan media kulit kakau yang ia
pakai akan segera menyeret ingatan kita pada sebuah ungkapan klasik “ habis
manis sepah dibuang” alam kini layaknya kulit kakau , diambil isinya, tapi
kulitnya menjadi sampah. Kulit kakau menurut bijal adalah simbol bumi ataupun
alam itu sendiri. Pesan pada karya bijal juga diperkuat dengan penambahan kayu
uyung atau kayu sagu yang sudah lapuk sebagai penyannga karyanya, kayu rapuh
segera menyeret penafsiran kita pada kondisi alam yang rapuh. Secara umum karya
bijal menunjukkan ekspresi seni kontemporer melalui bahasa instalasi
ataupun objek tetapi tetap mengahdirkan
cita rasa dan konten tradisi didalamnya.
Ida Bagus Radnyana (Gus Boim) menghadirkan karya dua
dimensional dan tiga dimensional. Dalam karya dua dimensionalnya Gus Boim
menghadirkan sebuah karya lukis yang menghadirkan garis sebagai komponen utamanya,
sehingga karya Gus Boim juga dapat dimasukkan ke wilayah drawing. Lihat
misalnya dalam karya yang berjudul “kaki-kaki” yang dalam bahasa bali berarti
kakek-kakek. Dalam karya tersebut gus boim menghadirkan nilai tradisi secara
kontekstual, artinya tradisi tidak hadir secara tekstual dalam karyanya tapi
secara kontekstual melalui nilai dan narasi tradisi terutama di wilayah ritual
keagaman. Dalam karyanya tersebut gus boim mengaku terinspirasi dari perayaan
tumpek bubuh yang oleh masyarakat bali dirayakan sebagai hari untuk menghormati
pohon ataupun tumbuh-tumbuhan. Dalam
pandangan masyarakat bali, pohon adalah organisme yang pertama
diciptakan tuhan, disusul oleh binatang, dan barulah manusia. Sehingga manusia
adalah organisme generasi ketiga di bawah pohon, maka oleh masyarakat bali
pohon dihormati sebagai “kaki” (kakek), kearifan lokal yang telah diwariskan
ini sesungguhnya adalah modal kultural untuk melestarikan alam. Selain karya
dua dimensional, gus boim menghadirkan karya tiga dimensional berupa objek batu
bata yang dirakit sedemikian rupa hingga terlihat seperti sebuah kendaraan
beroda, dengan lidah api di keempat sisi rodanya. Karya ini diberi judul “panas
pembangunan” sebuah kritikan terhadap pesatnya pembangunan di Bali khususnya
yang kerap mengorbankan lahan produktif. Nilai tradisi pada karya gus boim ini
hadir secara tekstual melalui hadirnya ikon-ikon berupa lidah api yang kental
nuansa tradisinya.
Made Sugiada (Anduk) menghadirkan karya berupa tiga
dimensional berupa patung kop anak-anak.
Patung tersebut dihadirkan secara repetitive dan di display secara instalatif
pada sebuah kotak dari kayu. “Antara Kebahagiaan dan Kesedihan” begtulah Anduk
memberi judul pada karya tiga dimensionalnya ini. Patung ini tampak ekspresif
karna dibuat dengan media tanah liat yang digarap dengan teknik pitching
sehingga menisakan jejak-jejak dari pijitan tangan yang ekspresif. Mimik dari
patung ini menyiratkan suatu ekspresi kesedihan dan kebahagiaan. Patung ini
didisplay dengan pendekatan instalatif yakni ditaruh di dalam tumpukan kotak
kotak kayu yng ditata sedemikian rupa. Secara kontekstual karya Anduk ini
menghadirkan konten berupa nilai kearifan lokal orang bali yakni rwa bineda,
sebuah kearifan dalam memandang suatu oposisi biner, tentang realitas baik
buruk, hitam putih, susah senang dan lain sebagainya. Anduk mengemas nilai
kearifan lokal tersebut dalam tampilan karya yang secara kasat mata sulit
dilacak jejak lokalitasnya, sekali lagi Anduk menghadirkan konten lokalitas
tersebut pada nilai kontekstual karyanya bukan pada sisi tekstualnya. Jejak
lokalitas itu ada di dalam horizon harapan sang kreator dalam hal ini Anduk
sendiri, ketika berwujud karya dan
berhadapan dengan apresiator maka pendekatan multi tafsirlah yang akan
berkecambah di horizon harapan masing-masing apresiator tersebut.
Narasi tentang rwa bineda tersebut juga Nampak pada
karya-karya lukisan Gus Koh. Karya-karya Gus Koh yang digarap secara realistic
ini juga tampak menghadirkan narasi seputar rwa bineda. Konten tersebut
diaplikasikan Gus Koh melalui pendekatan tekstual. Ia menggarap semua karyanya
dengan warna monokroom yakni hitam dan putih, sebagai mana yang lazim di Bali,
makna rwa bineda kerap ditubuhkan secara simbolik dengan warna hitam dan putih.
Konten trades dalam karya Gus Koh juga tampak dalam ikon-ikon budaya Bali
seperti tapel (topeng). Secara simbolik topeng adalah penutup wajah, yng kerap
menyeret pemaknaan kita pada kepalsuan. Dalam karyanya tersebut Gus Koh
mengungkapkan pada penulis, bahwa yang ingin ia sampaikan dalam karya-karyanya
adalah tentang pergeseran nilai budaya pada masyarakat Bali kini. Lihat
misalnya dalam karya yang berjudul dualisme#1 Gus Koh menghadirkan seraut wajah
badut di balik topeng dalem yang terlepas. Hal ini menurut Gus Koh
adalah simbol atas semakin berjaraknya genersi kini dengan nilai lokalitasnya.
Gus Koh melalui karya hitam putihnya seolah hendak bercerita tentang perbedaan
dan keberjarakan dualitas waktu dan budaya, antara masa kini dan masa lalu.
Demikinlah sekelumit pembacaan saya terhadap karya-karya yang
ditampilkan oleh para sahabat yang tergabung di Garis Merah dalam pameran
“Ngalih Mulih” hari ini. Sebagai sebuah bingkai kuratorial tulisan ini tentu
diniatkan sebagai sebuah diskripsi dari horizon harapan para creator dalam
menghasilkan karya mereka untuk dikomunikasikan dengan para apresiatornya. Dan
tulisan ini saya niatkan pula sebagai sebuah bingkai dari gagasan kreatif para
kreator dalam karya mereka. Dan pameran “Ngalih Mulih” ini semoga dapat
mengajak kita untuk kembali melihat apa yang kita miliki di rumah kita, rumah
kebudayaan Bali. Selamat mengapresiasi. Salam budaya.
Tulisan ini adalah esay kuratorial dari pameran kelompok
Garis Merah, yang berjudul “Ngalih Mulih” di Ten Fine Art Sanur, pada bulan
September 2011
0 komentar:
Posting Komentar