gradasi



“GRADASI”
(Pengantar Pameran Empat Perupa Muda)

Menyalakan lentera di ruang- ruang senyap
Bicara geliat medan sosial seni rupa Bali, ingatan kita melulu tertuju pada apa yang oleh sebagian pengamat digemborkan  sebagai poros-poros seni rupa Bali, yang berjajar dari ubud, sukawati, sanur, hingga sebagian kuta, disepanjang jalan pada beberapa wilayah tersebut  karya seni rupa bagaikan reklame rokok. Ada  yang tergantung anggun dengan sorotan lampu serta aroma wangi pengharum ruangan pada  galeri- galeri dan museum swasta,  hingga karya seni yang terpajang berjejal,ditumpuk bak sembako , di artshop  dan pasar seni. Semuanya bergeliat dalam hingar bingar apresiasi dan pergerakkan wacana, maupun dalam gemerincingnya turisme. Itulah realitas yang kita lihat ketika menyoal seni rupa Bali yang penuh dengan kompleksitas di dalamnya, sebuah ralitas yang  terlalu naïf jika disikapi dengan dikotomi baik-buruk, benar-salah, sebab semuanya adalah sah-sah saja. Seni rupa Bali bukanlah monopoli satu golongan saja, seni rupa Bali adalah milik semua pihak baik personal maupun institusional  yang merasa dan berkepentingan untuk memilikinya, mulai dari museum, dunia pendidikan, para  praktisi seni rupa berlabel seniman (baik yang akademis maupun otodidak, hingga yang paling gres para artisan),  para pengkaji seni rupa (semisal kurator, pengamat, peneliti, akademisi, hingga jurnalis seni) , para pemasar seni (mulai dari galeri, art space, artshop, kios, pasar seni dan lain-lain) , serta para pembutuh seni (mulai dari kolektor hingga kolekdol, ataupun para turis yang berplesir sembari membeli satu dua karya seni).
Kembali pada persoalan poros-poros seni rupa yang sudah kadung terbentuk dan tersokong oleh infrastrukturnya, di lain sisi akan menyeret pertanyaan kita, bagaimanakah geliat kehidupan seni rupa di luar wilayah yang sudah kadung dicap sebagai poros seni rupa Bali tersebut? Dalam konteks ini, Buleleng   dapat dijadikan salah satu contoh. Buleleng  sebuah bentangan di hulu pulau bali, mewarisi kemelimpahan narasi kultural mulai dari nostalgia historisnya, sampai pada kehidupan kebudayaan kontemporernya yang multikultur dan dinamis. Dalam konteks seni rupa, buleleng mewarisi dialek rupa yang khas dan liyan dari daerah lainnya di Bali, misalnya langgam seni ukir dan arsitekturnya. Buleleng juga melahirkan perupa-perupa yang mumpuni, sebut saja Jro Dalang Diah seorang dalang yang menjadi pionir dalam dialek rupa,ri daerah lainnya, misalnya langgam seni ukir dan ar seni lukis kaca di Nagasepaha. Buleleng juga melahirkan I Nyoman Tusan, salah satu dari  generasi perintis seniman akademis di Bali, yang berperan besar dalam dunia pendidikan seni rupa di Bali  utara khususnya. Dalam konteks seni rupa kontemporer buleleng juga melahirkan beberapa perupa potensial, sebut saja Nyoman Polenk Rediasa, Gede Mahendrayasa, Ketut Moniarta, dan lain-lain, mereka adalah perupa-perupa asal buleleng yang merengkuh eksistensi diri dalam peta seni rupa Bali. Di buleleng sejak akhir dekade 80an juga berdiri Jurusan Pendidikan Seni Rupa di Undiksha, yang telah menjadi kawitan bagi para guru seni rupa di Bali. Di buleleng juga terdapat komunitas perupa buleleng yang menghimpun para perupa di Bali utara.
Sederet contoh diatas, sesungguhnya menurut amatan penulis, merupakan keberlimpahan potensi yang dimiliki seni rupa Bali utara, dalam peta seni rupa Bali secara umum. Namun kenapa dalam praktiknya,geliat seni rupa di Bali utara seperti berada dalam ruang senyap? Padahal gemerincing turisme juga terdengar nyaring di Bali Utara. Salah satu penyebabnya mungkin adalah minimnya ruang-ruang apresiasi seni rupa di Bali utara. Sebuah ruang apresiasi baik itu yang berlabel gallery, artspace atau apaun namanya sesungguhnya adalah kantong-kantong yang menjadi lokomotif dari pergerakkan wacana dan praktik kesenirupaan. Dari kelangkaan rung apresiasi seni rupa di Bali utara, terdapat sebuah ruang alternatif yang digagas oleh beberapa orang perupa singaraja yang secara konsisten mengisi ruang-ruang senyap seni rupa Bali Utara. Ruang tersebut dinamai  Art House, yang berlokasi di kawasan Lovina,  dimana  setiap malam   bulan purnama digelar pembukaan pameran seni rupa guna menyalakan lentera apresiasi di ruang ruang senyap seni rupa singaraja, sebuah langkah yang patut diapresiasi sebagai sebuah upaya menghadirkan pergerakkan iklim kesenirupaan di Bali utara.
Untuk purnama bulan ini, empat orang perupa muda berupaya menyalakan lentera itu, mereka adalah I Made jendra, I Made Kartiyoga, I Ketut Wisana Arianto, serta I Made Wira Darma. Mereka adalah para perupa muda jebolan Jurusan Seni Rupa Undiksha Singaraja, mereka hadir dalam keragaman gagasan karya masing-masing baik dari sisi tekstual (estetis) maupun dari sisi kontekstual ( muatan, tematis) di dalamnya. Dengan latar kegelisahan yang sama, serta almamater yang sama,  keempatnya bersepakat untuk menyalakan lentera itu, di buleleng, di wilayah tempat mereka dibaptis menjadi perupa berlabel sarjana pendidikan, Gradasi adalah tema yang mereka pakai untuk membingkai keragaman gagasan mereka dalam sebuah event pameran.
Gradasi; ruang perayaan keanekaragaman gagasan
Seni adalah bentuk spesifik dari komunikasi , kata Joost Smiers. Sebuah karya seni termasuk seni rupa memang hadir membawa dua agenda yakni agenda estetis (teks) dan agenda tematis (konteks), karena seni rupa  adalah ungkapan emosional dari para kreatornya, hal inilah yang menyebabkan karya seni rupa tak bisa benar-benar kebal dari pretensi sebagai media ungkapan kreatornya tentang persoalan-persoalan kontekstual didalamnya, seni pada akhirnya adalah sebuah bahasa, tapi bukan seperti pemahaman bahasa verbal yang konvensional. Bahasa yang disampaikan dalam karya seni adalah bahasa yang spesifik, yakni memakai media estetik sebagai bahasanya. Bentuk spesifik yang estetik inilah yang kemudian menyebabkan karya seni adalah media pernyataan yang berlapis, karya seni serupa puisi, yang menyatakan suatu pernyataan tentang reaksi perupa atas berbagai persoalan yang mereka rasakan, dengan jalan melingkar, dengan jalan estetis, dalam wilayah ini karya seni tidaklah sama seperti orasi demonstratif di  jalanan, karena pernyataan dalam karya seni ditempuh melalui jalan berlapis yang melingkar. Karya seni pada akhirnya adalah seperti apa yang diungkapkan janet  wolff  yakni seni sebagai  gudang penyimpanan makna kebudayaan
Keempat orang perupa muda yang tampil pada pameran kali ini, menampilkan pernyataan-pernyataan mereka yang beragam melalui penghadiran karya seni rupa mereka masing-masing, lihat misalnya karya dari I Made Kartiyoga yang berjudul “air kehidupan”, karya yang cenderung surealistik tersebut menghadirkan narasi tentang mitos tirta empul, yang terkait dengan mitologi mayadenawa. Secara kontekstual karya kartiyoga tak hanya akan menyeret pemaknaan kita pada narasi seputar mayadanawa dan tirta empul, namun juga tentang peran sentral air dalam kehidupan manusia. Melalui karyanya kartiyoga mengajak kita untuk memuliakan dan memelihara sumber-sumber air untuk kehidupan kita.
Made jendra berbicara seputar eksistensi budaya bali di tengah percaturan budaya global. Bali adalah sebuah wilayah yang sudah sangat akrab dengan persinggungannya dengan budaya global, dengan turisme sebagai lokomotifnya. Dalam karya yang berjudul “terinspirasi dan terpengaruh”  karya dengan pendekatan realistik yang cukup baik tersebut, hendak menggambarkan bagaimana persinggungan budaya bali dan budaya barat itu terjadi, sebuah keniscayaan yang tak terelakkan, yang tak musti disikapi sebagai baik dan buruk. Walau demikian keniscayaan tersebut tetap musti terkritisi, dan karya jendra berupaya menghadirkan kritis yang kontemplatif, pernyataan kritis yang mengajak kita merenung tentang eksistensi budaya bali dalam percaturan budaya global.
Ketut Wisana Arianto menghadirkan narasi seputar perkembangan teknologi digitalisasi dalam kehidupan manusia kontemporer. Melalu seri karya “plastik wrap” Wisana menghadirkan citra-citra benda seperti buah-buahan dan sayur-sayuran  yang telah diolah dengan sentuhan efek-efek visual pada soft ware photoshop. Persinggungan antara seni lukis dan teknologi adalah sebuah realitas yang menggejala pada banyak perupa muda hari ini, persinggungan ini adalah sebuah cara untuk merespon perkembangan dalam era digitalisasi ini, era dimana citra denfgan mudahnya tercipta dengan mekanisme digitalisasi. Sebuah realitas yang membuat sebagian orang bertanya tentang posisi sensibilitas tangan dalam mencipta karya seni rupa. Melalui metode apropriasi wisana meminjam citra yang terproduksi dengan mekanisme digitalisasi tersebut, dengan cara melukis ulang secara realistik efek-efek visual soft ware photoshop tersebut langkah yang ditempuh wisana ini adalah upayanya dalam membuktikan bahwa mekanisme digitalisasi tak pernah kan menggantikan atau mematikan karya seni rupa yang dibuat dengan sensibilitas tangan. Dalam karyanya wisana sperti hendak berbicara bahwa teknologi adalah alat bukan tujuan.
Sedangkan Made Wira Darma menampilkan karya yang tampak ekletik, sebab ia memadukan efek efek seni lukis ekspresionisme, seperti cipratan, lelehan, ataupun sapuan-sapuan kasar yang liar, dan dipadukan dengan gaya melukis dekoratif yang tertib dan flat, lihat misalnya dalam karya yang berjudul “ Red Lipstic”. Dalam karya tersebut Wira menampilkan wajah perempuan berwarna biru yang digarap secara ekspresionistik dengan cipratan dan lelehan  di sana sini, sementara di depan wajah biru berlipstik merah tersebut terlukis tebaran kupu-kupu yang dilukis secara dekoratif. Karya wira tersebut seperti hendak berbicara tentang budaya konsumerisme yang melanda kehidupan kita, khususnya kaum perempuan. Pesona tubuh dan wajah perempuan sesungguhnya adalah alat tempat propaganda dari produk-produk budaya konsumerisme, sebut saja lipstik, yang menjadikan perempuan sebagai iklan sekaligus korban.
Demikianlah sekelumit pembacaan saya terhadap karya keempat sahabat yang tampil dalam pameran bersama “ gradasi” ini, sebagaimana hakikat pembacaan, tentu saja apa yang saya paparkan ini adalah satu-satunya jalan untuk memahami karya-karya mereka. Jika para penikmat yang menyaksikan pameran ini menemukan makna-makna yang berbeda dalam membaca karya para sahabat ini, itu tentu saja adalah hal yang wajar dan sah adanya, sebab ketika karya seni rupa berada dalam ruang publiknya, maka sebnagianm dari dirinya bukan lagi menjadi monopoli sang kreator, melainkan sudah menjadi wilayah pemaknaan apresiatornya. Akhir kata rasa apresiasi yang sebesar besarnya saya berikan bagi langkah kreatif yang ditempuh para sahabat ini, yang secara tidak langsung telah menunjukkan bahwa proses kreatif mereka tak hanya akan berhenti sebagai ritual formalitas untuk mendapatkan ijazah sebagai sarjana pendidikan semata, mereka secara perlahan tampaknya ingin mewujudkan cita-cita ideologis jurusan seni rupa undiksha  bahwa seorang pendidik yang baik adalah pelaku yang baik. Rasa apresiasi juga saya haturkan pada Art House Lovina yang telah mampu menjadi mercusuar dalam menyalakan setitik lentera diantara senyapnya iklim seni rupa di Bali Utara. Selamat mengapresiasi dan berdialog. Salam budaya
Tulisan ini adalah esay kuratorial untuk pameran empat perupa muda di Art Hause Lovina pada tanggal 8 januari 2012.





0 komentar:

Posting Komentar

Tentang Suara Rupa

Suara Rupa adalah sebuah "panggung" sederhana yang berusaha menyajikan gagasan dan cara pandang tentang kebudayaan khususnya dunia seni rupa dalam perspektif praktik, wacana, ataupun pendidikan dan pengajarannya

tentang penulis

suara rupa
I Made Susanta Dwitanaya, lahir di tampaksiring gianyar bali, pada 22 juli 1987. menempuh pendidikan kesenirupaan di Jurusan Pendidikan Seni Rupa Undiksha Singaraja (2005-2010. Berminat pada dunia kepenulisan sejak masih kuliah
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.