MENGEMAS LOKALITAS
Pada awal kelahirannya seni rupa
kontemporer menyerap banyak gagasan ataupun pandangan dari postmodernisme, yang
merupakan bentuk perlawanan frontal terhadap modernisme yang telah mengakar
kuat dalam peradaban masyarakat dunia terutama di barat. Modernisme menyangkut
berbagai aspek kehidupan salah satunya dalam bidang seni rupa. Salah satu
prinsip seni rupa modernisme yang “dihajar” oleh pandangan postmodernisme adalah adanya prinsip atau
konsep universalisme . Prinsip universalisme dalam karya seni rupa modern tak
pelak menjadikan wajah seni rupa dunia tampak seragam layaknya seni rupa barat,
karena seni rupa barat melalui prinsip avan garde dan isme-ismenya begitu
jumawa mengakui dirinya sebagai bentuk seni yang universal, sementara bentuk-bentuk
kesenirupaan di wilayah-wilayah dunia ketiga termasuk Indonesia,
dikatagorisasikan sebagai seni primitif, bahkan kerap dipandang sebagai benda
benda arkeologis, bukan karya seni.
Postmodernisme “melawan”
universalisme dengan semangat pluralisme, termasuk dalam ranah kesenirupaan.
Pluralisme dalam seni rupa kontemporer ditandai dengan kebangkitan seni rupa
tradisi, seni rupa lokal, seni indigenous.
Dalam era ini masing-masing perupa memliki potensi yang besar untuk
menghadirkan nuansa etnisitas masing-masing pada karya mereka. Maka wacana seni
rupa dunia (world art) yang dulunya
hanya terpusat di eropa dan amerika mulai mencair, Negara-negara di belahan
dunia ketiga seperti asia, afrika, dan amerika latin mulai dilirik dalam wacana
seni rupa global (global art). Perbedaan istilah world art dan global art
disini, mengacu pada pemahaman yang diajukan Hans Belting. Seni rupa dunia (world art) menurutnya lebih mengacu pada
pemahaman-pemahaman modernisme yang hegemonik dan memperlihatkan nafas-nafas
kolonial. Sedangkan seni rupa global (global
art) adalah seni rupa kontemporer
yang meluas ke seluruh dunia dalam pekembangan sekarang. Globalisasi
menurut Hans Belting justru merupakan anti tesis dari universalisme.
Kembali pada persoalan menguatnya
wacana etnisitas dalam wacana seni rupa kontemporer ataupun seni rupa global,
sesunguhnya merupakan momentum yang tepat bagi tampilnya dunia ketiga (di luar
amerika-eropa) untuk tampil dalam panggung wacana seni rupa global, termasuk
indonesia dan tentu saja Bali sebagai bagian dari geokultural Indonesia. Dalam
konteks seni rupa Bali, potensi itu sangat melimpah adanya, karena kita
memiliki modal warisan sejarah dan kosa rupa yang melimpah. Warisan kosa rupa
tradisi tersebut masih hidup dan berkembang dalam kehidupan sosial msyarakat
bali hingga kini karna didalamnya terdapat sistem regenerasi yang dinamis.
Berdasarkan pada gejala dan
beberapa fenomena di atas maka dua orang perupa muda yakni Kadek Darmanegara
dan Wayan Juni Antara, menghadirkan pencapaian kreatif mereka dalam sebuah
pameran yang berjudul “mengemas lokalitas”. Kedua perupa muda ini berasal dari Gianyar, dan jebolan Jurusan Pendidikan
Seni Rupa, Undiksha Singaraja. Pertemuan
dan kesepakatan kedua perupa ini untuk berpameran bersama dilatar belakangi
oleh adanya kesamaan konsep berkarya keduanya yakni sama-sama mengangkat wacana
ataupun isu tentang konten etnisitas dalam karya mereka, tentu saja dengan
tetap berlatar pada pengembangan eksplorasi
dan gagasan visual masing-masing.
Kadek Darmanegara, menampilkan
karya yang menunjukkan eksplorasi yang kuat
dalam wilayah formalistik, namun bukan berarti karya darma tidak
memiliki muatan kontekstual di dalamnya. Ia secara bebas bermain dengan aneka
efek visual semisal cipratan, torehan, lelehan, kerokan, terkadang stensilan
sebagai background dari hadirnya ikon-ikon berbentuk menyerupai batang pohon
yang di sekujur permukaannya digarap dengan pendekatan tradisional yang detail,
ornamen-ornamen yang repetitive itu, dihadirkan dengan teknik sigar mangsi yang
tertib. Ada kontradiksi-kontradiksi emosi yang sengaja darma hadirkan dalam
karya-karyanya, lihat misalnya keliaran latar belakang yang mengacu pada
abstrak ekspresionisme “berselingkuh” dengan tertibnya ornamen dan sigar mangsi
yang menjadi center of intrest karya ini, sungguh sebuah “kemesraan” emosional
yang ekletik. Secara kontekstual Darma banyak berbicara tentang alam dan
lingkungan, hal ni dilihat dari simbol-simbol yang ia angkat seperti pohon, dan
binatang. Darma hendak berbicara tentang kondisi alam kita yang semakin hari
semakin terjebak dalam kondisi disharmoni akibat ulah manusia sendiri.
Sedangkan Wayan Juni Antara,
menghadirkan gagasan seputar eksistensi budaya bali di tengah pengaruh budaya
luar. Juni menghadirkan wayang kamasan yang tersusun di dalam fragmen-fragmen
bidang persegi yang disusun sedemikian rupa membentuk komposisi bidang-bidang,
sementara di sela jelimetan bidang-biadang persegi bergambar wayang kamasan
tersebut hadir sosok naruto, salah satu tokoh manga jepang yang digandrungi
anak-anak Indonesia. Sosok naruto tersebut terlihat superior diantara wayang
kamasan yang ia lukis dengan ukuran yang lebih kecil. Hal ini menunjukkan
betapa kuatnya hegemoni budaya luar dalam hal ini jepang terhadap budaya kita.
Disamping itu pada beberapa karyanya yang lain Juni Antara juga menghadirkan
tubuh-tubuh perempuan yang digarap secara realistic, horizon harapan yang
terbentang dari penghadiran tubuh-tubuh perempuan dalam karya Juni Antara
adalah seputar potret budaya hari ini, sebuah budaya popular yang mengagungkan
sensasi dan pencitraan layaknya tubuh perempuan yang kerap menjadi komoditi
sebagai buah dari kontruksi budaya
pencitran ataupun budaya iklan. Karya juni ini di lain sisi juga dapat
merepresentasikan bagaimana arah pengembangan kebudayaan kita, apakah
pemerintah dalam hal ini departemen kebudayaan memiliki konsep tentang politik
kebudayaan yang jelas? Sungguh sebuah pertanyaan yang terdengar sumbang di
sela-sela gemuruhnya pengembangan kebudayaan nasional yang hanya bersifat
turistik semata. Karya juni seolah hendak menggedor-gedor nurani kita sebagai
bangsa yang katanya kaya akan khasanah budaya ini, tapi tidak percaya diri untuk
menjadikannya “senjata” dalam percaturan global.
Demikianlah sekelumit gagasan
yang melatar belakangi pameran kedua orang perupa muda ini. Untuk pembacaan
masing-masing perupa secara detail akan penulis paparkan dalam catatan
kuratorial pada pelaksanaan pameran ini nantinya. Adapun pameran ini penulis
bingkai dengan judul “Mengemas Lokalitas” yang kurang lebih
merefleksikan gagasan dan konsep kedua orang perupa muda ini dalam upaya
keduanya menghadirkan lokalitas dalam kemasan pribadi masing-masing perupa muda
ini. Pameran ini juga adalah sebuah
upaya dari para perupa muda ini untuk secar konsisten menjalain jejaring dan
mengakrabkan diri dalam medan sosial seni rupa yang sesungguhnya, guna meraih
eksistensi dalam peta seni rupa kontemporer di Bali.
Tulisan ini adalah esay
kuratorial, pameran “Mengemas Lokalitas” Kadek Darmanegara vs I Wayan Juni
Antara, di GK Art Space, Kesiman Denpasar
0 komentar:
Posting Komentar