“PROLOG”
( Pameran Komunitas Puntung Rokok)
Istilah Prolog adalah suatu yang sudah sangat familiar terdengar dalam dunia
seni peran semisal drama atau yang lebih
kompleks lagi seni teater. Istilah prolog mengacu pada sebuah narasi atau orasi
yang dibawakan sebagai pembuka sebuah adegan yang berfungsi untuk menggiring
pemirsa memasuki dan memahami secara garis besar alur cerita sebelum menyimak
detil demi detil adegan yang dibawakan dalam alur cerita. Secara konvensional
prolog tersaji dalam bentuk bahasa verbal,
namun prolog juga bisa hadir dalam gerak
(gestur), bebunyian (audio) bahkan citra (visual). Prolog serupa wajah sebuah
pertunjukkan, karena hadir paling awal maka kehadiran prolog harus menyentak,
dan menarik perhatian pemirsa, layaknya jargon sebuah iklan “kesan pertama begitu menggoda”. Begitulah
prolog, ia berfungsi sebagai upaya
mediasi, antara gagasan seorang kreator dengan pemirsanya.
Makna prolog tersebut kemudian
dipinjam dan dimaknai secara lebih luas
oleh sekelompok perupa muda yang bernaung di bawah komunitas punting
rokok, sebagai sebuah judul untuk membingkai pameran mereka yang direncanakan
akan diadakan di art hause lovina pada mei tahun 2012 dalam pameran tersebut akan tampil lima orang
anggota komunitas mereka antara lain; Bravo Cindra Wahyu Merdekawanto, Denta
Pamugar, Wiranda, Tri Akta Bagus Prasetya, dan Fiki Dwi Cahyono. Secara
konseptual “Prolog” dimaknai sebagai sebuah penanda tentang awal kiprah mereka
untuk berpameran bersamaatas nama komunitas, pameran ini juga adalah upaya
mereka melakukan proses mediasi antara gagasan mereka dalam karya yang akan
ditampilkan dengan para pemirsa, dalam hal ini medan sosial seni rupa di Bali,
terkhusus lagi medan sosial seni rupa buleleng, sebagai tempat mereka berproses
sembari menempuh pendidikan kesenirupaan
selama hampir lima tahun.
Komunitas punting rokok adalah
sebuah komunitas kreatif yang berbasis anak muda yang beranggotakan para
mahasiswa jurusan pendidikan seni rupa undiksha singaraja. Komunitas ini
terbentuk sejak tahun 2008, pada mulanya komunitas ini adalah sebuah komunitas yang lebih focus pada dunia teater,
karena banyak pentolan-pentolan komunitas ini adalah para aktivis- aktivis
teater. Kemudian beberapa tahun terakhir komunitas ini juga aktif bergiat dalam
dunia seni rupa pertunjukkan (performance art). Saya masih ingat ketika pertama
kali menyaksikan komunitas ini melakukan aksi performance art di areal halaman
kampus bawah FBS undiksha, kala itu sekitar pertengahan tahun 2010 mereka
diminta untuk mengisi acara perpisahan para mahasiswa seni rupa yang sudah
tamat. Dalam acara yang bertajuk “menuju
dunia baru” tersebut komunitas ini cukup
menyita perhatian pemirsa, dengan garapan yang menceritakan tentang proses
kelahiran, mereka cukup cerdas dan kratif dalam memanfaatkan aneka elemen
elemen visual, dalam pertunjukkan tersebut.
Sejak menyaksikan garapan mereka tersebut, saya yakin bahwa mereka
adalah orang-orang muda yang potensial
dengan cadangan bakat melimpah.
Kini saya kembali berkesempatan
untuk menyaksikan gebrakan dari komunitas punting rook, sebab saya diminta untuk menjadi seorang pembaca dari
hasil proses kreatif mereka berseni rupa
dalam sebuah esay kuratorial. Baiklah, agar tidak ngelantur, maka saya mulai saja pembacaan saya terhadap karya dari
Bravo. Dalam karya-karyanya bravo menghadirkan sebuah teks visual berupa batang
pohon karet yang di close up sehingga menghadirkan tekstur dari batang pohon
karet yang khas. Tekstur batang tersebut digarap secara ralistik sehingga
menghasilkan sebuah tekstur yang semu, sebuah ilusi yang tampak bertekstur tapi
sesungguhnya flat. Secara estetika tekstur batang karet tersebut adalah
sehamparan teks visual yang cenderung mengarah ke abstraktif hal ini terjadi
jika imaji pemirsa tentang batang pohon karet dibuang, sehingga yang hadir
hanya jejak-jejak kuas yang atraktif. Tapi jika pembacaan kita perluas lebih
dari sekedar sisi estetis semata, maka citra batang pohon karet yang dihadirkan
oleh bravo, segera menyeret ingatan kita pada narasi seputar kehidupan para
buruh penyadap karet dan kesehariannya.
Denta memotret hal yang sangat
sederhana dalam kehidupan sehari-hari yakni seputar permainan rubik, sebuah
permainan yang berupa rangkaian kubus dari plastik yang harus disusun sesuai
warna yang sama di setiap sisinya. Realitas bermain rubik yang tampak sederhana
itu oleh denta diolah dengan bahasa parodi yang terkadang satir, lihat misalnya
tangan terborgol yang sedang bermain rubik bergambar fragmen- fragmen logo
instansi kepolisian, yang diselingi secara acak oleh fragmen- fragmen bergambar
timbangan dan uang, serangkain teks visual yang denta hadirkan ini hendak
bernarasi tentang carut marut dunia hukum dan peradilan di negeri ini. Ketika
aparat penegak hukum bisa mempermainkan hukum dengan uang, realitas suap
menyuap menjadi rahasia umum di dunia hukum kita, hukum hanya berpihak kepada
si berpunya, maka rasa keadilan masyarakat pun tercedari.
Wiranda menghadirkan
pencapaiannya dalam wilayah realism yang cukup menjanjikan, ia menhadirkan
potret wajah orang tua dengan warna-warna yang cenderung monokrom karya wiranda
menghadirkan kesan kemuraman yang misterius. Karya-karyamya menghadirkan teks
visual berupa kerutan-kerutan wajah yang realistik. Secara kontekstual
penghadiran wajah-wajah orang tua yang digarap dengan teknik drawing yang
monokrom tersebut menghadirkan kesan muram, menyimak karya wiranda saya
teringat kutipan syair lagu ebiet g ade , “benturan dan hempasan terpahat di
keningmu” sebuah narasi yang liris
tentang masa tua, dimana sebagian para lansia atau orang lanjut usia yang terpaksa bekerja membanting tulang demi
sesuap nasi, realitas mungkin sering kita jumpai di sekitar kita.
Pras menghadirkan karya karya
yang ekletik. Ekletik adalah sebuah gaya bahasa visual yang berkembang di era
postmodern yang menghadirkan suatu olah visual yang bertolak belakang, atau
berbenturan. Lihat misalnya bagaimana pras menghadirkan wayang kulit jawa yang
cenderung flat dan dekoratif dengan objek-objek realistic seperti celana jeans
dan handphone, sebuah garapan visual yang ekletik sekaligus parodik yang hendak
merekam bagaimana kuatnya arus budaya modern dalam menghegemoni kehidupan
kita., sebuah kondisi yang ditandai dengan menguatnya arus budaya konsumtif
dalam kehidupan kita, tanpa kita sadari iklan telah memprovokasi selera kita
untuk terus mengkonsumsi komoditi-komoditi yang diobral oleh
korporasi-korporasi capital, kita telah dijadikan pecandu yang pasif dalam
mitos globalisasi.
Sedangkan fiki memilih bahasa
visual yang cenderung surealistik pada karya-karyanya, lihat misalnya dalam
sebuah karya yang menampilkan seorang anak jalanan yang tertidur lelap dalam
sebuah rel kereta api yang terkesan tak berujung sementara ada sekelompok
anak lengkap dengan pakaian sekolah
melintas menuju ujung rel kereta yng entah dimana, tapi di sana ada pijar
matahari yang tersamar dari kejauhan. Karya fiki ini segera menyeret ingatan
kita pada kehidupan kaum urban di kota-kota besar, salah satu realitas urban
yang cukup sering menohok nurani kita adalah realitas kehidupan anak jalanan
yang berjuang keras menyambung hidup di tengah belantara kota yang kejam.
Mereka terpaksa menggadaikan cita-cita menikmati pendidikan di jalanan, apa
daya sebab pendidikan dihargai sangat mahal di republik ini. Dunia pendidikan
kita tengah tenggelam dalam paradok-paradok, di satu sisi sekolah-sekolah
internasional dengan pulasan dan gincu pencitraan yang kinclong berdiri dengan
megahnya diantara sekolah-sekolah yang rubuh dan reot, realitas pendidikan yang
semakin melebarkan jurang antara si berpunya dan si papa.
Demikianlah sekelumit pembacaan
saya twerhadap karya-karya yang dihadirkan dalam pameran “prolog” oleh para
sahabat yang tergabung dalam komunitas punting rokok kali ini. Pameran ini
barulah “prolog” dari pertunjukkan proses kreatif mereka yang akan terus
berlanjut, saya berharap setelah “prolog” ini pencapaian kreatif kawan-kawan
puntung rokok ini akan terus berlanjut ke “babak-babak” dan ke “episode-episode
“ yang panjang, agar tak lekas terklimakskan “epilog”. Dengan cadangan bakat
dan komitmen para angotanya saya yakin mereka akan terus mampu bertahan dan
bergerak dalam proses kreatif yang dinamis. Komunitas puntung rook juga
diharapkan mampu menjadi inspirasi bagi lahirnya kominitas-komunitas serupa
terutama dikalangan mahasiswa seni rupa, agar benih-benih iklim kreatif yang
kini tengah tumb8h subur di bali utara tak padam. Semoga.
Tulisan ini adalah esay
kuratorial pameran komunitas pontung rokok yang berjudul “prolog” di art hause
lovina pada bulan maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar