resensi



Menelisik eksistensi (pe)seni grafis di Bali.
Rabu malam, tepatnya 28 maret 2012 di Bentara Budaya Bali,dinding ruang pamerannya tergantung jejeran karya grafis dengan berbagai macam teknik presentasi mulai dari cukil kayu, monoprint, kola print, aquatin, etsa, drypoint, cetak saring dan lain lain , wajar saja sebab malam itu tengah  digelar  pembukaan sebuah hajatan seni rupa yakni pameran seni grafis yang menampilkan beberapa pegrafis Bali dan para pegrafis dari luar bali.Para pegrafis yang berpartisipasi dalam pameran ini antara lain;  I Kadek Septa Adi, I Made Arya Dwita (Dedok), Arief Budiman (Ayip Matamera), Edo Wulia, Megasari,  I Made Artana, I Komang Sukertayasa, Sang Ayu Made WLP, Made Marthana Yusa, I Nyoman Anom Fajaraditya, Geugeut Pangestu S, Ahdiyat Nur Hartarta, I Gd Riski Soma Himawan, I Komang Wardita, I Wayan Wahyu Pratama, I Putu Aditya Diatmika, Andriyanto, Made Karisma Dwi Yosa, Wasudewa, I Putu Suhartawan, Made Dianan Putra, Wibowo, Rochman Kifrizyah, dan I Gede Panca Gautama. Para perupa yang tampil dalam pameran ini pernah mengenyam pendidikan  pada h mengenyam pendidikan  darndiksha Singaraja, sebagian dari mereka ada yang masih berstatus mahasiswata, ITB Bandung, PSSRD berbagai perguruan tinggi seni seperti dari ISI Yogyakarta, ITB Bandung, PSSRD Unud ( kini ISI Denpasar) dan Undiksha Singaraja, sebagian dari mereka bahkan masih  ada yang berstatus mahasiswa
 Pameran yang di kurasi oleh Hardiman (kurator, dan staf pengajar di jurusan Pendidikan Seni Rupa Undiksha Bali)  tersebut terbingkai dalam sebuah bingkai kuratorial bertajuk “Kinship” yang berarti kekerabatan. Sebuah judul yang menyiratkan tentang niatan utama dari pameran ini yakni membangun kembali kekerabatan di antara para pegrafis di bali maupun antara pegrafis bali dan luar bali. Membangun kembali kekerabatan merupakan salah satu tonggak awal dalam rangka mengembangkan atau tepatnya membangkitkan gairah kreatif seni grafis di bali baik dalam ranah penciptaan maupun dalam ranah pewacanaan.
Gairah kreatif seni grafis di Bali, tampaknya belum terlalu bergeliat , atau secara ekstrim bisa dikatakan mati suri. Mencari seorang pegrafis di bali sama susahnya dengan mencari sebatang jarum di tumpukan jerami, hal ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan para pelukis, pematung, ataupun para pekriya  yang begitu masif. Bali sesungguhnya memiliki beberapa perupa yang secara formal menempuh pendidikan seni grafis bahkan sampai ke luar bali, namun selepas tamat mereka seolah lenyap, sebagian ada yang menjadi pelukis, sebagian lagi mungkin sibuk meladeni orderan pembuatan produk-produk grafis fungsional semisal pencetakan brosur, baliho, undangan, sablon kaos dan lain-lain sehingga lupa menghasilkan karya-karya yang lebih nyeni atau karya-karya grafis yang ditujukan untuk ekspresi diri sebagai perupa.Di bali juga terdapat beberapa perguruan tinggi seni yang dalam kurikulumnya mencantumkan seni grafis sebagai mata kuliah, atau bahkan program studi,tapi mengapa institusi pendidikan formal yang katanya pencetak para seniman handal bali itu, seolah olah mandul dalam menghasilkan para perupa yang menekuni seni grafis. Ini mungkin sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi para pengelola institusi pendidikan seni di Bali.
Ekistensi seni grafis yang masih dianggap menduduki kasta kelas dua dalam seni rupa Bali, juga terjadi dalam  ranah seni rupa yang lebih luas yakni seni rupa  nasional, hal ini terjadi karena masih minimnya pewacanaan terhadap seni grafis, kurangnya pameran-pameran yang secara khusus menampilkan karya-karya grafis  dari para perupa, kurangnya apresiasi pasar terhadap seni grafis. Hal ini sungguhsangat ironis mengingat eksistensi seni grafis khususnya cukil kayu telah melalui setengah abad perjalananya tercatat sejak decade 1940an melalui para pionernya seperti Mocthar Apin, Bahroedin MS, dan Suromo.
Walaupun seni grafis masih menduduki kasta kelas dua dalam wacana seni rupa nasional, tapi kondisi tersebut tidaklah semandeg dengan perkembangan seni grafis di Bali , karena setidaknya di luar Bali masih banyak para perupa yang terus bereksplorasi dengan bahasa teknis  seni grafis. Salah satu yang dapat dipakai sebagai indikator untuk menguatkan pendapat penulis adalah pada tiga kali  perhelatan trienale seni grafis Indonesia yang diadakan oleh bentara budaya sejak tahun 2003, para perupa Bali nyaris absen dalam even tersebut, tercatat hanya pada penyelengaraan trienale seni grafis ketiga pada tahun 2009 ada seorang perupa muda Bali yang berpartisiasi dan mampu lolos menjadi salah satu finalis, yakni I Kadek Septa Adi, yang ketika itu masih berstatus sebagai mahasiswa di Jurusan Pendidikan Seni Rupa Undiksha Bali, sebuah institusi pendidikan  yang dikenal sebagai pencetak calon guru seni rupa di Bali. Realitas tersebut semakin menegaskan bahwa eksistensi seni grafis di Bali masih belum bergeliat bahkan mati suri.
Kondisi seni grafis di Bali yang mengalami “mati suri” secara setahap demi setahap harus mulai  digeliatkan. Penyelenggaraan pameran yang bertajuk “Kinship” ini adalah salah satu dari langkanya event seni rupa yang secara khusus menampilkan seni grafis di Bali. “Kinship” sebagai sebuah bingkai kuratorial tampak sangat longgar dan cair sehingga dapat menampung berbagai macam gagasan para perupa yang berpartisipasi dalam pameran ini. Pameran ini tidak hadir dalam rangka merespon satu isu atau bingkai tematis tertentu seperti layaknya pameran-pameran tematis dalam seni rupa kontemporer. Pameran ini lebih terbaca sebagai upaya Hardiman untuk melakukan pemetaan terhadap perkembangan (pe)seni grafis yang teramat langka di Bali. Karena seperti telah penulis singgung diawal tulisan ini bahwa sanagt jarang para perupa Bali yang menekuni seni grafis. Setidaknya hal itulah yang dapat terbaca dari persiapan pameran ini, dimana sejak jauh-jauh hari sebelum pameran ini berlangsung pihak Bentara Budaya Bali dan Hardiman  mengawalinya dengan mengadakan workshop  cukil kayu pada awal bulan februari yang lalu, yang bertujuan untuk menjaring minat dan potensi-potensi (pe)seni grafis Bali yang selama ini mungkin luput dari perhatian.
Karya karya yang tampil dalam pameran “Kinship” ini menunjukkan pencapaian masing-masing peserta yang memiliki wlayah- wilayah kreatif yang berbeda-beda baik dari sisi teknik maupun dari sisi tematik. Sebagian dari para peserta yang sudah cukup memiliki jm terbang  dalam dunia seni grafis menampilkan karya dengan bahasa rupa ataupun karakter visual yang sudah menjadi identitas pribadi perupa yang bersangkutan. Salah satunya adalah karya Made Arya Dwita Dedok yang sudah cukup lama berkecimpung di dunia seni rupa Bali dan Nasional, selain dikenal sebagai seorang pegrafis, Dedok juga dikenal sebagai kartunis hingga fotografer. Dalam pameran kali ini Dedok menampilkan karya-karya monoprint yang menampilkan figur-figur yang sangat khas dan sudah menjadi identitas pada karya-karyanya . Figur-figur yang cenderung naïf tersebut, hadir sebagai teks yang berfungsi untuk membahasakan gagasan kontekstual tertentu yang hendak disampaikan oleh sang perupa, ataupun dapat menggiring pembacaan para apresiator untuk memproduksi sendiri pemaknaan atas karya yang dipresentasikan oleh Dedok sebagai perupa. Lihat misalnya dalam karya yang berjudul “ Be Happy” (monoprint, 60x80cm, 2009) menghadirkan figur dengan senyum melebar, sedang berdiri pada punggung seekor babi. Pada bagian atas bidang gambar berguguran bunga-bunga kamboja yang seolah-olah seperti sedang terjadi hujan bunga dari langit. Pada bagian dada figure tersebut terpampang gambar jantung hati, sebuah simbol yang sudah sangat familiar sebagai simbol cinta. Rangkaian tanda-tanda yan g hadir dalam karya tersebut adalah sebuah teks yang menggiring pembacaan  apresiator untuk memproduksi pemaknaan tentang nilai ataupun narasi kontekstual terentu. Misalnya tentang hakikat kebahagiaan yang sesungguhnya berasal dari diri sendiri, dari hati yang damai dan penuh cinta sehingga ia yang mampu berdamai dengan dirinya sendiri adalah ia yang mampu mengendalikan sifat-sifat kebinatangan dalam dirinya, inilah yang terbaca dari hadirnya gambar babi dalam karya ini.
Sedangkan sebagian peserta yang masih berstatus mahasiswa, menghadirkan karya-karya yang masih berjalan dalam  proses eksplorasi yang terbingkai oleh proses pendidikan formal dalam kampus masing-masing. Karya-karya yang mereka tampilkan menunjukkan suatu upaya para perupa muda tersebut untuk meramu teknik-teknik  menjadi sebuah bahasa yang gurih baik dalam vilayah gagasan visual (teks) maupun dalam gagasan tematis (konteks). Sehingga karya-karya mereka akan bergerak menuju kematangan-kematangan, hal ini akan didapat jika para perupa muda yang juga turut berpartisipasi dalam pameran ini tidak hanya berhenti bereksplorasi hanya pada saat pameran ini saja, namun diharapkan mereka terus berproses kreatif, demi tidak terputusnya mata rantai kekerabatan (pe)seni grafis di Bali.
Dan pameran “Kinship” ini benar-benar terasa menghadirkan upaya untuk menjalin kekerabatan antara para peserta pameran dalam hal ini para perupa atau tepatnya peseni grafis di tengah kondisi seni grafis Bali yang mati suri. Dalam pameran ini para peseni grafis asal bali menjalin kekerabatan dengan kerabatnya para peseni grafis dari luar Bali. Dalam pameran ini pula para peseni grafis yang sudah lebih dahulu meraih eksistensi di dunia seni grafis menjalin kekerabatan dengan para junior mereka, yakni beberapa pegrafis muda yang masih berstatus mahasiswa. Dalam pameran ini pula diharapkan terjalin kekerabatan antara seni grafis bali dan para apresiatornya, dalam hal ini medan sosial seni rupa Bali itu sendiri.






Tentang Suara Rupa

Suara Rupa adalah sebuah "panggung" sederhana yang berusaha menyajikan gagasan dan cara pandang tentang kebudayaan khususnya dunia seni rupa dalam perspektif praktik, wacana, ataupun pendidikan dan pengajarannya

tentang penulis

suara rupa
I Made Susanta Dwitanaya, lahir di tampaksiring gianyar bali, pada 22 juli 1987. menempuh pendidikan kesenirupaan di Jurusan Pendidikan Seni Rupa Undiksha Singaraja (2005-2010. Berminat pada dunia kepenulisan sejak masih kuliah
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.