“ORKESTRA”
Ketika saya melihat dan menyimak hasil dari proses
kreatif ketiga orang sahabat saya yang tergabung dalam “trio” pelukis bernama
“Telu(u)njuk”, yakni I Kadek Darmanegara, I Wayan Sedanayasa, dan I Wayan Aries
Adipramana. Saya menganalogikan diri saya seperti sedang mendengarkan harmoni dari sebuah garapan musik orkestra yang disusun oleh perbedaan
bunyi dari instrument yang berbeda pula.
Perbedaan instrumen yang saya magsud adalah adanya perbedaan tampilan karya,
baik secara tekstual maupun kontekstual.
Sehingga saya meminjam kata
“orkestra” dari dunia musik untuk
membingkai pameran mereka yang
menampilkan karya yang tampak sangat berbeda baik dari sisi teks(visualisasi)
maupun konteks(tema).
Kadek
Darmanegara tampak intens melakukan ekletisme pada karya-karyanya , ia secara
bebas mengeksplorasi efek-efek dalam seni lukis abstrak semisal cipratan,
lelehan, sapuan ataupun torehan-torehan palet yang liar lalu “mengawinkannya”
dengan drawing dekoratif ornamentik yang
tampak tertib, terkontrol ,dan bernafas Bali tersebut secara nyaman. Disinilah
tampak keberanian Darma dalam memainkan
kontras visual yang tajam. Ada sebuah permainan emosi yang tertangkap dari
karya-karyanya, Ia tampak asik bermain main dengan emosinya, ia tampak begitu mengumbar keliaran emosi saat membuat cipratan ataupun
lelehan, setelah dirasa cukup, Ia kemudian merespon hasil keliaran emosinya itu
dengan secara ketat melakukan pengendalian emosi saat membuat jelimetan
drawing garis gemaris ornamen pada masing-masing permukaan citra obyek yang
dilukisnya. Klimaks segera bertemu dengan antiklimaksnya. Puncak seni lukis
modern berupa efek-efek abstraksi, oleh
Darma dipertemukan dengan puncak dari seni lukis tradisi berupa
jejak-jejak ornamentik. Dengan cara itu
Darma berbicara tentang etnisitas yang kini mulai ramai diangkat ke permukaan
karena diyakini sebagai alternatif atas
keseragaman wajah seni rupa kontemporer Indonesia yang mulai jenuh dengan bahasa visual impor yang di copy paste begitu
saja kulit visualnya, tanpa adanya
pemahaman yang utuh tentang kontemporerisme ataupun tentang postmodernisme itu
sendiri. Secara tematis (kontekstual)
karya Darma berbicara tentang banyak hal mulai dari spiritualitas,interaksi
budaya local dan global sampai persoalan alam.
Sementara
Wayan Aries Adipramana, menghadirkan citra obyek yang dipinjam dari budaya pop,
yakni mainan anak-anak seperti replika mobil bulldozer, sampai replika tokoh
tokoh dalam super hero semisal jocker, cat woman, wonder women dan lain
sebagainya. Ada hal yang menarik dari cara Aries dalam memvisualkan karyanya,
lihat misalnya dalam karya lukisan yang
menampilkan citra tentang mainan Bulldozer yang ia lukis dengan latar sebuah
landscape padang rumput. Dalam karyanya itu Aries sedang menampilkan sebuah
lapisan makna lukisan realistik yang
kompleks. Kompleksitas tersebut terasa saat kita diajak menyelami antara citra
realistik padang rumput sebagai salinan dari realitas yang sesungguhnya, dengan
citra realistik mainan sebagai salinan dari replika mobil bulldozer , replika
mainan sudah merupakan copy dari realitas Buldozer yang sesungguhnya, namun
oleh Aries copyan itu ia copy kembali dalam karyanya. Dalam karyanya itu juga
akan terproduksi makna yang kompleks pula seputar natur yang direpresentasikan
oleh objek padang rumput, serta persoalan cultur yang direpresentasikan oleh
replika mobil bulldozer. Dalam lukisannya yang menampilkan replika tokoh tokoh
super hero Aries juga sedang melakukan intertekstualitas melalui ekletisme
dengan menambahkan kosa rupa tradisi seperti tampilnya motif awan yang tampak
mengadopsi motif mega mendung, ataupun motif lidah api yang khas Bali yang oleh
Aries dibuat dengan metoda stensilan, dengan visualisasi seperti itu karya
Aries juga mencoba menghadirkan wacana tentang
etnisitas.
Wayan
Sedanayasa, masih intens dengan penghadiran blow up dari lampu sepeda motor
dalam setiap karya lukisnya. Metoda blow up yang ditempuh Sedanayasa dalam
menghadirkan karyanya membuat tampilan karyanya semakin memiuh dari citra lampu
sepeda motor menjadi citraan abstrak dengan persoalan pada efek reflektif
bayangan yang terpantul di atas permukaan lampu sepeda motor. Denyaran cahaya
yang terpantul diatas permukaan lampu sepeda motor tersebut menghasilkan efek
visual yang mengarah ke visualisasi abstrak. Lukisan Sedanayasa yang dibuat
dengan metoda melukis secara realistik
pada akhirnya justru semakin mengingkari realitas bentuk lampu sepeda
motor karna yang Ia tonjolkan adalah efek refleksi dari cahaya yang ia lukis secara
realistic. Inilah yang menjadi konsep utama kekaryaan sedanayasa yang
menghadirkan seni lukis abstrak dengan jalan melingkar melalui teknik melukis
secara realistik. Kuatnya tampilan visual terkadang akan membuat apresiator
untuk larut dalam menyelami persoalan visual dalam karya sedanayasa dan mungkin
akan sedikit lupa untuk memikirkan tentang persoalan kontekstual yang coba
sedanayasa hadirkan lewat karyanya yakni seputar realitas sepeda motor di Bali
yang telah menjadi sebuah penanda budaya.
Selain
melukis tampaknya ketiga orang sahabat saya ini juga melakukan perluasan media
melalui pengahdiran objek tiga dimensi ke ruang pameran. Langkah ini tentu
patut diapresiasi karena mereka mulai
melakukan proses eksplorasi terhadap media. Mereka tak hanya puas telah
menghasilkan karya dwimatra, mereka ingin menghadirkan karya trimatra untuk
memperkuat subject mater yang mereka angkat dalam karya mereka masing-masing.
Hal ini tentu menjanjikan sebuah tawaran dan suguhan visual yang lebih variatif
bagi para apresiator. Demikinlah sepenggal pembacaan saya terhadap karya-karya
yang dipresentasikan dalam pameran “orkestra” ini, dan apa yang terpapar
dalam esay kuratorial ini hanyalah
sepenggal fragmen atas kekayaan teks
yang tersaji dan merangsang untuk
dimaknai dari karya . karya yang
tersaji dalam pameran ini. Jikalau apresiator yang datang dan menikmati pameran
ini menemukan nilai dan pemaknaan yang
beragam dari hasil pembacaanya
sendiri terhadap karya-karya para sahabat kita ini, maka itu
adalah hak sepenuhnya dari para
apresiator sebagai pembaca yang otonom.
Hasil pembacaan yang beragam dari para apresiator tentu akan memperkaya
pembacaan terhadap karya-karya para sahabat kita ini. Selamat membaca,
menafsir, dan menikmati persembahan orkestrasi visual dari kelompok
“Telu(u)njuk”. Salam budaya
Tulisan
ini adalah esay kuratorial pameran kelompok telu[u]njuk yang berjudul “orkestra”
di ten fine art sanur pada bulan mei 2011
0 komentar:
Posting Komentar