UNCONDENTIONAL
TRUST; PERUPA MUDA, PILIHAN, DAN
KEYAKINAN
#1
Sebelum tulisan ini
berlanjut, saya terlebih dahulu ingin memberi batasan pada istilah perupa muda
yang saya magsud dalam tulisan ini, yakni perupa yang baru memulai langkah
untuk berjuang melakukan aktualisasi diri demi sebuah eksistensi di dunia seni
rupa terkhusus lagi istilah perupa muda yang saya ajukan tentu saja mengacu pada lima orang perupa muda peserta pameran
ini yang sekiranya bisa menjadi sampel bagi kecenderungan teman-teman seusia
kami di luar sana yang mengalami kegelisahan dan problematika yang sama . Batasan tersebut sengaja saya berikan agar
para pembaca tidak mengalami bias pemaknaan atas istilah perupa muda yang saya
ajukan, ataupun agar tidak menimbulkan prasangka bahwa saya melakukan
peng-generalisasi-an pada semua perupa muda sabab saya menyadari pula istilah
perupa muda adalah istilah yang luas serta tidak mungkin terwakili oleh sebuah
sudut pandang pembacaan semata .
“Uncondentional Trust” adalah dua kata dalam bahasa ingris yang berarti kepercayaan yang
tak bersyarat. Sebuah judul yang dirasa tepat untuk merepresentasikan semangat
atau bahkan suara hati lima orang perupa muda yang akan tampil dalam pameran
ini. Semangat yang merupakan buah kesadaran atas pilihan “berani” untuk
menekuni dunia keperupaan yang bergelut
dengan dunia seni rupa. Mengapa dikatakan berani? Sebab memilih jalan sebagai
perupa tentu akan berhadapan dengan problematikanya sendiri. Ada banyak
simpul-simpul “ketegangan” yang harus dihadapi untuk merintis atau memulai
jalan atas “kenekatan” pilihan sebagai
perupa. Menjadi perupa tentu tidak sama dengan profesi yang lain, menjadi
pegawai kantoran misalnya, dengan pakaian dan tampilan klimis dan necis berikut
segala “kepastian” mulai dari jam kerja,
gaji dan “penjara” kepastian-kepastian lainnya yang dilembagakan oleh otoritas
perusahaan.
Menjadi perupa tentu berbeda, seorang perupa
tidak “bekerja” dalam mekanisme kerja yang terlembagakan oleh sesuatu lembaga
di luar otoritas diri sang perupa sebab otoritas diri perupalah yang menjadi
lembaga otonom dalam mekanisme kerja kreatif untuk menghasilkan sebuah karya,
sebuah mekanisme yang menuntut perupa bekerja dalam mekanisme disiplin kerjanya
sendiri. Perupa dituntut berdisplin dengan dirinya sendiri, oleh dirinya
sendiri. Kerja bagi perupa tidak hanya dimulai pada saat mengeksekusi karya
pada media dua atau tiga dimensi saja. Proses kerja bagi perupa dimulai sejak
menemukan gagasan yang akan diangkat dalam sebuah karya, proses ini dilakukan
dengan cara yang berbeda-beda oleh masing-masing perupa, yang agak berjiwa rumahan biasanya bengong sambil tidur tiduran
dikamar, yang agak berjiwa pertapa
biasanya menyepi sambil membawa pancing, yang agak kutu buku dengan membaca
buku buku atau majalah, yang agak tekno suka mengubek-ubek internet sambil
sesekali ngeksis di social media, yang suka kongkow-kongkow pergi ke pameran
atau pergi ke studio teman sambil berdiskusi mulai dari urusan yang ringan
sampai yang ruwet. Kesemuanya adalah cara perupa dalam mempertajam ide dan
gagasannya.
Sistem kerja yang “tak
biasa” dalam pandangan awam ini, yang membuat perupa terkadang terstigmakan menjadi
pribadi yang unik dan berbeda dari orang kebanyakan, sebuah pandangan purba
yang juga kerap dipelihara oleh perupa sejak masa romantik eropa, bahwa perupa
adalah orang yang eksklusif yang berada di luar lingkaran orang kebanyakan,
perupa kemudian dikonstruksi menghuni kutub-kutub sosial terekstrim. Perupa
berada diantara paria dan dewa, berada diantara gembel dan nabi, berada
diantara para pemalas dan pemikir, pandangan romantik tersebut tampaknya tetap
diwarisi oleh sebagian besar masyarakat dalam memandang profesi perupa.
Pandangan tersebut berbuah pada persepsi dan prasangka, persepsi dan prasangka
tersebutlah yang harus ditanggung para anak muda yang sedang jatuh bangun
merintis jalan di dunia seni rupa. Pilihan yang terkadang berhadapan dengan simpul-simpul
ketegangan, mulai dari wilayah paling domestik semisal keluarga, simpul-simpul
ketegangan dalam wilayah keluarga ini biasanya berbentuk kebimbangan diri
perupa muda yang terkadang merasa “gagal” atau belum mampu memenuhi ekspektasi
dari para orang tua yang menganggap bahwa predikat “sarjana” yang dipikul
anaknya akan selalu berkolerasi perbaikan taraf hidup yang dapat dilakukan
semudah membalikkan telapak tangan. Simpul-simpul ketegangan juga terjadi dalam
sebagian masyarakat yang menganggap menjadi perupa adalah pilihan yang aneh,
antikemapanan dan sebagainya. Belum lagi simpul-simpul ketegangan yang harus
dihadapi dalam medan sosial seni rupa itu sendiri, dimana untuk meraih
eksistensi diri sebagai perupa tidaklah instan, perlu kerja keras, atau dalam
gaya bahasa yang lebih dramatik dan bombastis diistilahkan sebagai; “perlu perjuangan
yang berdarah darah”. Realitas ini juga membuat nyanyian sumbang terhadap
tanggung jawab moral akademi seni rupa kembali berhembus, bahwa untuk bisa
survive sebagai perupa setidaknya harus ada pembekalan seputar ilmu manajemen
seni, sebuah mata ajar yang tampaknya terlupakan untuk diajarkan khususnya di
beberapa akademi seni rupa yang ada di Bali.
Simpul-simpul
ketegangan yang dihadapi oleh sebagian perupa mu tidaklah didapat semudah membalikkan telapak
tangan. Perlu tidak hanya kesadaran tapi yang lebih dalam adalah kepercayaan
pada jalan seni rupa. Sebuah kepercayaan yang tak pernah surut sebuah,
kepercayaan yang tulus, yang tanpa syarat apapun selain rasa cinta. Maka
“uncondentional trust” dirasa tidak terlalu berlebihan dalam merepresentasikan
semangat orang-orang muda ini untuk mengaktulalisasikan diri sebagai perupa
dalam medan sosial seni rupa. “Uncondentional Trust” pada akhirnya adalah sebuah bingkai yang akan
merepresentasikan keanekaragaman gagasan dari para perupa muda yang akan tampil
dalam pameran ini. Sebuah tawaran tentang keanekaragaman karya yang hadir dalam
spirit yang sama yakni kepercayaan yang tak bersyarat. “uncondentional trust”. da, melahirkan seleksi
alam, antara yang frustasi kemudian memilih meninggalkan dunia seni rupa atupun
yang memilih tetap berjuang di seni rupa dalam rangka aktualisasi diri walau
dengan kesadaran bahwa eksistensi diri
#2
Lihatlah karya Kadek
Darmanegara yang masih suntuk dalam permaian dan pencariannya pada sebuah
bahasa yakni ekletisme dalam
karya-karyanya. Sebuah kecenderungan yang ia gali secara terus menerus
ia gali setidaknya sejak dua tahun terakhir ini. Ke-ekletis-an karya Darma,
terlihat pada penghadiran bahasa rupa modernis semisal lelehan, cipratan,
torehan dan lain sebagainya berpadu dengan basa dekoratif yang bernafaskan
bahasa rupa tradisoanal bali seperti teknik sigar mangsi. Dari sekian tahun
berproses bersama penulis, secara tersirat darma sering memaparkan konsep umum
karyanya bahwa dia terobsesi untuk menghadirkan konten lokalitas semisal kosa rupa
tradisional bali kedalam karya-karyanya, sebuah obsesi yang mungkin tergerak
atas pemahaman dan keyakinannya bahwa salah satu pilihan jalan untuk merayakan
ke-kontemporer-an dalam ranah seni rupa dapat dilakukan dengan penghadiran
konten lokalitas dalam karya-karya seni rupa, sejalan dengan gagasan tentang
matinya narasi besar (universalitas) yang digantikan oleh kebangkitan narasi
kecil (lokalitas) dalam pandangan postmodernisme.
Made Jendra terus
berupaya dalam penggalian bahasa rupa di wilayah realis, ketekunan dan
kesuntukannya berproses dalam bahasa realisme adalah “bekal potensi” yang menjadi obsesi
artistiknya sejak masa kuliah hingga kini. Sebuah upaya yang menuntut adanya
kontiniuitas dalam berproses tak hanya dalam wilayah tekstual (teknis, estetis)
tapi juga dalam wilayah kontekstual ( gagasan, ungkapan, narasi). Tampaknya
aspek kontiniuitas tersebut mulai terliahat dalam pergeseran atau perkembangan?
Gagasan karyanya kini. Jika pada masa studi ia menjadikan potret diri sebagai
gagasan utama dalam karya-karyanya maka kini gagasan tersebut mulai bergeser,
yakni tak lagi potret diri tapi potret tokoh-tokoh dunia seperti, Gandhi,
hitler, marylin Monroe dan lain sebagainya. Yang menarik dibaca dalam
karya-karya jendra adalah potret tokoh-tokoh tersebut dihadirkan sedang memakai
busana penari Bali. Tampilan tersebut merangsang berbagai pemaknaan, salah
satunya adalah isu-isu seputar globalitas, yang didalamnya juga berhadapan
dengan lokalitas, lihatlah potret-potret
tokoh yang telah “milik” budaya global sedang memakai busana penari bali yang
menjadi “milik” budaya lokal dalam hal ini budaya bali itu sendiri. Hal ini
juga menyiratkan isu komodifikasi budaya bali dalam laju lokomotif pariwisata
Bali.
Wayan Juni Antara masih
asik dalam pencariannya mengangkat bahasa rupa wayang kamasan yang ia padukan
dengan figure-figur manusia yang berusaha digarap dengan pendekatan yang
realistik. Tak seperti karya-karya Juni yang terdahulu yakni menggabungkan ikon
wayang kamasan dengan ikon naruto sebagai penanda atas keterpangruhan budaya
asing tewrhadap budaya bali, sehingga karya Juni pada fase tersebut
menghadirkan oposisi biner antara budaya luar dan budala sendiri, antara yang
global dan yang lokal dan lain sebagainya. Tapi pada karya-karyanya yang
terbaru Juni tampaknya meredam opsisi biner tersebut, Juni kini lebih
mengaralihkan pandangannya pada tema-tema yang bersahaja, sarat harmoni, sebuah
tema yang telah lama hilang tergerus arus budaya protes yang bising. Secara
berterus terang dan jujur Juni bertutur pada penulis bahwa dirinya ingin
menhadirkan sesuatu yang lebih bersahaja dan wajar tapi bukan berarti
karya-karyanya akan berhenti pada aspek kebentukan semata, Juni dalam alam
bawah sadarnya mungkin sedang rindu pada kesahajaan dan harmoni yang telah lama
tercerabut dalam keseharian kita yang tengah dibisingkan oleh riuhnya gelombang
kegaduhan peradaban.
Lain lagi dengan Wayan
Aries Adipramana “eben” yang terkesan sedang melakukan “curhat” visual dalam
karya-karyanya. Dalam setiap karya-karyanya Eben tampaknya sedang menyampaikan
gasasan, kegelisahannya atau mungkin kegalauannya terhadap dunia seni rupa itu
sendiri. Teks-teks yang hadir dalam salah satu karya object art-nya yang
menhadirkan bantal tersurat dalam bahasa yang terkesan sangat personal, karena
secara implisit kata-kata yang terbaca dalam karya tersebut tampak absurd
tetapi secara eksplisit tersirat adanya pertanyaan kritis Eben terhadap makna
dari “rasa nyaman” seorang perupa dalam berkarya. Rasa nyaman yang berasosiasi
dengan bantal segera terbaca sebagai sebuah ke-stagnasi-an karena bantal adalah
alas kepala saat tidur atau bersantai. Dari sana Eben hendak berbicara bahwa
rasa nyaman pada posisi dan pencapaian tertentu akan berujung pada
terjerumusnya seorang perupa dalam suatu kontdisi stagnasi yang berujung pada
suatu proses yang melahirkan karya yang
itu-itu saja, seperti yang sedang ia kritisi dalam karyanya yang
berjudul “beri aku keesegaran” yang menampilkan dua panel lukisan repetisi
ornamen api-apian, yang dibuat berjajar dan berbaris rapi membentuk konfigurasi
yang terkesan tertib dan statis.
Wayan Suarjaya
menghadirkan narasi tentang kehidupan masyarakat kelas bawah . Melalui
pelukisan serangkaian benda-benda
berkarat nan kusam suarjaya mencoba menghadirkan potret muram kemiskinan yang
melanda sebagian saudara-saudara kita. kemiskinan memang kerap menjadi nyanyian
pilu di media-media masa, walaupun demikian telinga kemanusiaan kita mungkin
terlampau tuli tuk mendengarkan. Kemiskinan tetaplah kemiskinan, terkadang ia
hadir dalam spanduk-spanduk partai politik menjelang pilkada atau pemilu yang seolah hadir bak juru selamat dengan
sejuta kotbah dan janji-janji yang nihil raelisasi. Pada tataran ini kemiskinan
menjadi komoditas bagi selebritas politik. \Narasi tentang kemiskinan pada
akhirnya hanya menjadi benda pajangan dan simbol-simbol yang beku tanpa pernah
tersentuh dan teratasi dengan niatan yang tulus dan serius
Demikianlah sekelumit
pembacaan saya terhadap karya kelima orang perupa muda yang tampil dalam pameran ini. Sebagaimana
layaknya sebuah bingkai kuratorial semoga tulisan ini mampu menjadi sebuah
jalan untuk melakukan pembacaan terhadap apa yang ditampilkan oleh teman-teman
perupa muda dalam pameran ini,dan
pembacaan saya ini tentu saja bukanlah satu-satunya jalan untuk memahami
karya-karya mereka, karna setiap pemirsa tentu akan melakukan pembacaanya
masing-masing terhadap karya-karya kelima orang perupa muda ini. Selamat membaca.
Tulisan ini adalah esay
kuratorial pameran lima perupa muda yang berjudul “uncondentional trust” di
hitam putih art space pada 8 desember 2012 – 8 januari 2013